BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Wednesday, July 31, 2013

DEMOKRASI : MASALAH IJTIHAADIY ATAU APA??

Apa yang paling menarik dari persaingan antara mantan First Lady, Hillary Clinton, dengan Barack Obama dalam merebutkan sokongan kaum demokrat di Amerika?
Menurut saya, yang paling menarik dalam peristiwa ini adalah bahwa sebenarnya proses pilihanraya itu bukan hanya tertuju kepada perlembagaan yang ada di sana, tapi ini juga merupakan pertunjukan yang disajikan kepada masyarakat dunia. Apa yang ingin ditunjukkan oleh Bangsa Amerika kepada dunia? Jawabnya adalah “DEMOKRASI“. Siapa pun yang menang diantara dua calon dari Demokrat maka dia akan berhadapan dengan calon kaum republikan. Dan pilihan yang ditawarkan oleh Parti Demokrat tidak lepas dari dua pilihan, yakni : WANITA atau KULIT HITAM. Keduanya adalah sampel terbaik untuk menegaskan bahwa demokrasi merupakan sistem yang tidak pandang bulu, ertinya, semua orang memiliki kedudukan dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Jadi, dalam kes ini, Parti Demokrat merupakan wakil jiwa Bangsa Amerika sebagai hamba-nya demokrasi. Maka sedar atau tidak, kita telah menjadi objek “kempen pilihanraya demokrasi” yang sangat efektif.
Setelah melewati momentum ini, saya ingin menunjukkan betapa sistem demokrasi itu tidak ada islamnya sama sekali. Pertentangan antara demokrasi dengan sistem islam secara filosofis telah kita debatkan setiap hari. Intinya, saya tetap yakin bahwa demokrasi itu sistem kufur, sebab sistem ini telah menjadikan rakyat sebagai satu-satunya pihak yang kehendaknya wajib dipatuhi oleh negara. Sedangkan dalam islam, yang wajib dipatuhi hanyalah syara’. Ini saja sudah cukup untuk mengatakan bahwa demokrasi itu bathil, bahkan, super bathil.
Sekarang kita bincang dalam wilayah praktis. Dalam demokrasi, pemimpin negara wanita itu mungkin. Kenapa mungkin? Karena kehendak yang wajib ditaati oleh negara adalah kehendak rakyat. Jika rakyat menghendaki Semah menjadi presiden, maka jadilah dia presiden, tidak ada lagi yang perlu dipertikaikan, sebab kedaulatan ditangan rakyat. Ertinya, kemungkinan adanya ketua negara wanita itu memang ditetapkan oleh falsafah demokrasi itu sendiri dan kemudian diturunkan sampai level undang-undang. Jadi, masalahnya masuk sampai penetapan undang-undang.
Sementara dalam pandangan islam, ketua negara wanita itu tidak dibenarkan. Hal itu ditetapkan oleh hukum syara’. Al Bukhariy rahimahullaah meriwayatkan sabda Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Abu Bakrah radliyallahu ‘anhu “lay-yufliha qowmun walaw amrahum imra’atan”. Keharaman mengangkat ketua negara wanita ini bukan hukum syara’ yang jatuh kepada individu, tapi ini adalah hukum syara’ yang harus dijalankan oleh negara. Ertinya, aturan islam menetapkan bahwa Negara Islam tidak boleh mengangkat seorang wanita menjadi ketua negara. Maka, Negara Islam diharamkan membuat undang-undang yang membuka adanya peluang tersebut.
Disinilah kita melihat ketidak-harmonian antara islam dengan demokrasi. Dalam pandangan demokrasi, undang-undang tidak boleh diskriminatif, maka undang-undang yang melarang wanita untuk mencalonkan diri sebagai kepala negara adalah undang-undang yang bathil. Sebaliknya, menurut islam, malah undang-undang yang mengabaikan syariat adalah undang-undang yang bathil. Maka aturan yang membolehkan wanita untuk diangkat sebagai ketua negara adalah aturan yang tidak benar. Ketidak-harmonian itu bertumpu pada perbezaan falsafah negaranya, yakni, negara demokrasi itu tunduk kepada rakyat, sedangkan negara islam itu tunduk kepada syara’.
Dengan tanpa meninggalkan sikap hormat, di sini kita tidak boleh mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Syaikh Qordhawi, bahwa demokrasi itu tidak bertentangan dengan islam, karena demokrasi dalam islam adalah demokrasi yang dijalankan oleh orang-orang islam yang taat kepada agamanya sehingga kehendak rakyat itu tidak mungkin menyimpang dari syariah yang mereka imani. Pernyataan itu tidak benar. Sebab, jika demikian, kita juga boleh mengatakan bahawa pemerintahan autokrasi -yang menjadikan raja berkuasa secara total itu- juga tidak bertentangan dengan islam. Alasannya sama seperti ungkapan Qordhawi dalam membela demokrasi, yakni: jika sistem autokrasi itu dipegang oleh orang yang sholeh, maka sistem itu tidak mungkin menyimpang dari syariat islam.
Tidak sesuai dikatakan demikian, kerana kita berbicara tentang “ketentuan dalam islam mengenai siapa yang kehendaknya harus ditaati oleh pemerintah/negara?”. Maka masalahnya adalah tentang bentuk sistem negara yang benar. Bagaimana pun keadaannya, pemerintahan yang hanya mahu tunduk kepada rakyat adalah pemerintahan yang tidak benar menurut islam. Demikian juga dengan pemerintahan yang menjadikan raja berkuasa secara total. Keduanya memiliki kesalahan filosofis yang sama, yakni tidak menjadikan syara’ sebagai satu-satunya pemegang kedaulatan dalam merumuskan hukum dan aturan. Allaahumma arinal baathila baathila war-zuqnajtinaabahu!

Keharaman Dalam Menerapkan Sistem Demokrasi Bukan Masalah Ijtihadiy
Banyak kaum muslim yang beranggapan bahwa sikap umat islam terhadap sistem demokrasi adalah perkara ijtihadiy. Dari anggapan ini, mereka tidak membenarkan orang yang tegas, “memaksakan” pemahamannya kepada seluruh umat islam bahwa demokrasi adalah sistem kufur yang haram untuk diterapkan. Maka melalui tulisan ini, kami ingin menunjukkan bahwa keharaman penerapan sistem demokrasi adalah perkara yang qoth’i, bukan perkara ijtihadiy. Akan kami tunjukkan bahwa sistem demokrasi itu telah mendapat tanggapan dari nash-nash qoth’i yang telah turun pada masa kenabian. Pembahasan di dalam tulisan ini telah kami atur sedemikian rupa agar pembaca boleh memahami alur fikiran kami dalam menarik kesimpulan. Maka dari itu, kami tidak menghendaki tanggapan yang muncul tanpa mengindahkan uraian yang telah kami susun. Wallaahul Musta’aan

Hukum Islam: Ada Yang Qoth’i dan Yang Dzanni
Di dalam islam ada perkara yang tergolong qoth’i (absolute) dan ada pula perkara yang tergolong dzanni (spekulatif). Perkara qoth’i adalah perkara yang ditetapkan oleh dalil-dalil qoth’i, baik dalam aspek keabsahan sumbernya mahupun dalam aspek kekuatan penunjukkannya. Di dalam perkara-perkara yang qoth’i ini umat islam secara automatik memiliki kesefahaman. Kesefahaman tersebut terwujud karena dalil-dalil yang membangun perkara-perkara qoth’i itu secara keilmuan memang tidak boleh ditolak oleh umat islam mana pun, baik dari aspek keabsahan sumbernya mahupun dari aspek pemahaman yang ditarik dari sumber tersebut. Siapa saja yang menolak perkara yang qoth’i maka ia digolongkan sebagai orang kafir, meski hanya menolak satu perkara saja. Misalnya, bahwa “Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah yang terakhir” itu termasuk perkara yang qoth’i, siapa saja yang secara sedar dan konsisten menolak pernyataan tersebut maka dia kafir. Di sinilah wilayah hitam dan putih itu dipisahkan. Pilihannya adalah haq atau bathil, islam atau kafir, idea yang islami atau idea yang kufur.
Sedangkan perkara yang dzanni adalah perkara-perkara yang tidak ditetapkan dengan dalil-dalil qoth’i -baik dilihat dari aspek keabsahan sumbernya dan/atau dari aspek pemahaman yang boleh ditarik dari sumber tersebut. Dalam masalah keabsahan sumber, diperlukan kepakaran khusus untuk meneliti keabsahan suatu hadits. Dalam hal ini, mungkin para pakar boleh berbeza pendapat, sehingga tidak aneh jika terjadi perdebatan. Begitu pula, seandainya mereka bersepakat atas absahnya suatu hadits, belum tentu mereka sepakat terhadap pemahaman yang boleh diambil dari hadits tersebut. Dan masih banyak lagi faktor keilmuan lain yang dapat menyebabkan terjadinya perbezaan pendapat dalam perkara yang dzanni ini, baik menyangkut faktor metod maupun non-metod. Maka dari itu, dalam wilayah yang dzanni ini, di samping harus memiliki sikap yang jujur dan “ilmiah”, umat islam juga harus saling menghargai, sebab walau bagaimana pun, semua pihak telah mengerahkan segenap memampuannya untuk menemukan pendapat yang menurutnya paling benar (showab). Inilah wilayah “abu-abu” dalam islam, dan itu terbatas pada perkara cabang, ertinya, perbezaan itu tidak menyentuh aspek asas dalam islam.
Pengertian Ijtihad
Yang disebut dengan ijtihad dalam disiplin ilmu ushul adalah proses yang dilakukan oleh seseorang -dengan kelayakan tertentu- dimana dia mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk memahami dalil-dalil syara’ dalam rangka menggali dan menghasilkan hukum amali yang bersifat dzanni. Jadi hasil dari proses ijtihad adalah hukum amali yang bersifat dzanni. Yang demikian itu karena area ijtihad terbatas pada dalil-dalil syara’ yang bersifat dzanni. Sebab, tidak ada ijtihad dalam perkara qoth’i.
Dari definisi ijtihad di atas, dapat disimpulkan bahawa sebuah aktiviti itu tidak boleh dianggap sebagai ijtihad jika tidak memiliki tiga karakter berikut:
1. Adanya proses pengerahan segenap kemampuan untuk menggali hukum. Dengan ini berarti juga disyaratkan adanya kemampuan untuk melakukan ijtihad itu sendiri. Sebab, seseorang tidak mungkin boleh mengerahkan kemampuan untuk berijtihad jika dia tidak memiliki kelayakan&kemampuan dalam berijtihad. Secara garis besar, seseorang akan boleh melakukan ijtihad jika dia menguasai kaidah-kaidah yang diperlukan dalam memahami ungkapan-ungkapan berbahasa Arab dan ilmu-ilmu syara’. Dengan kata lain, disyaratkan mengetahui ilmu bahasa dan ilmu tentang dalil. Jika seseorang telah mengerahkan segala kemampuannya yang berkaitan dengan ilmu-ilmu bahasa dan syara’ dalam melakukan penggalian hukum, maka dia dianggap telah berijtihad. Tapi, jika usaha yang dia lakukan dalam mengambil kesimpulan hukum itu belum maksima, maka dia tidak dianggap telah berijtihad. Misalnya jika dalam benaknya masih ada dalil-dalil yang secara dzahir terlihat bertentangan, tapi pertentangan itu tidak diselesaikan dan justru terus menarik hukum dengan sebagian dalil saja, maka dia tidak dianggap telah berijtihad.
2. Bahawa pengerahan kemampuan itu didedikasikan untuk menghasilkan hukum syara’. Maka dari itu, jika seseorang memahami dalil-dalil syara’ hanya sekedar untuk penelitian, bukan dalam rangka menghasilkan hukum untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah, maka dia tidak dianggap telah berijtihad.
3. Bahawa kajiannya haruslah bertumpu pada dalil-dalil syara’, atau minimal syubhatud dalil. Atas dasar itu, pengerahan kemampuan untuk menghasilkan hukum yang tidak bersumber dari dalil syara’ tidak disebut ijtihad. Maka pemikiran yang semata-mata bersandar pada akal atau falsafah asing tidak boleh dianggap sebagai hasil ijtihad. Sedang yang disebut dalil syara’ itu adalah Al Qur’an dan As Sunnah, serta yang disahkan oleh keduanya, yakni ijma’ sahabat dan qiyas yang didasarkan pada illat syar’i.

Menghukumi Sebuah Fakta: Pemahaman Terhadap Nash dan Penelaahan Terhadap Fakta
Apabila suatu hukum telah ditetapkan, baik ditemukan sebagai hukum yang qoth’i mahupun melalui proses ijtihad, maka masalah berikutnya adalah bagaimana menerapkan hukum syara’ tersebut kepada fakta yang tepat. Proses identifikasi fakta ini dinamakan tahqiqul manath (penelaahan terhadap fakta / mengkaji realiti).
Proses tahqiqul manath bukan merupakan ijtihad, sebab yang disebut ijtihad adalah kajian terhadap dalil, yakni menangkap hukum yang ditunjukkan oleh cakupan dalil, baik yang terkandung dalam manthuq (hal yang tersurat), mafhum (hal yang tersirat), mahupun ma’qulnya (berupa illah), juga usaha dalam membina kesimpulan yang boleh mengintegrasikan semua dalil yang terkait dalam satu tema. Untuk itu diperlukn ilmu bahasa arab dan ilmu-ilmu syar’i. Ini berbeza dengan tahqiqul manath, sebab tahqiqul manath hanyalah penelitian terhadap fakta. Di sini tidak diperlukan ilmu bahasa arab dan kaidah-kaidah syara’, yang diperlukan hanyalah kemampuan untuk mengidentifikasi fakta pada realiti keadaan secara tepat, kemudian fakta itu dibandingkan dengan fakta yang ditunjuk oleh dalil. Jika terbukti bahwa fakta yang ditemukan pada realiti keadaan itu memang sama dengan fakta yang ditunjuk oleh dalil atau tercakup dalam keumumannya, maka hukum yang telah dipahami dari dalil itu tinggal diterapkan pada fakta yang ditemukan direaliti keadaan.
Contoh proses tahqiqul manath: kita tidak perlu berijtihad untuk menyimpulkan bahwa bunga bank itu haram. Keismpulan itu didapat setelah kita tahu bahwa bunga bank itu adalah riba. Untuk mampu memastikan bahwa “bunga bank itu adalah riba” seseorang tidak harus menguasai ilmu bahasa Arab dan kaidah-kaidah syara’. Cukuplah ia untuk tahu “fakta riba itu seperti apa?” dan “fakta bunga bank itu bagaimana?”, kemudian dibandingkan. Siapa saja yang masih punya akal pasti akan memahami bahwa bunga bank itu sama dengan riba, atau lebih tepatnya, bunga bank itu hakikatnya adalah riba. Padahal hukum riba itu telah jelas diketahui (haram) tanpa harus berijtihad. Ini contoh kasus hukum yang qoth’i (riba). Contoh untuk kasus hukum dzanni misalnya dalam masalah istihadhah. Imam Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi’i -rahimahumullah- sepakat bahwa istihadhah itu tidak menghalangi aktiviti -maaf- jima’, berbeda dengan imam Ahmad rahimahullah, beliau mengharamkan jima’ pada farj wanita mustahadhoh. Kesimpulan hukum dzanni itu didapat dari proses ijtihad yang dilakukan oleh para ulama melalui penelaahan terhadap dalil-dalil syara’. Sedangkan proses identifikasi yang dilakukan oleh seorang wanita mengenai apa yang terjadi pada dirinya, apakah ia sedang mengalami haidl atau istihadhah, itu bukan proses ijtihad, melainkan tahqiqul-manath.
Menentukan Status Demokrasi Tidak Perlu Ijtihad
Sampailah kita pada masalah demokrasi, apakah ini perkara ijtihadiy atau bukan. Kami berpendapat bahawa fakta demokrasi itu telah diperjelas oleh nash-nash yang qoth’i. Kesimpulannya, demokrasi itu sistem kufur dan haram menerapkannya. Kesimpulan kami ini bertumpu kepada tiga perkara:
1. Penelaahan terhadap nash-nash syara’ memastikan bahwa hukum itu wajib datang dari syara’ semata. Ertinya, ada dalil-dalil qoth’i yang mewajibkan umat islam untuk hanya bertahkim kepada Allah. Dengan ini kami mengatakan bahwa tidak ada tempat untuk berijtihad di dalam masalah menyerahkan urusan hukum kepada selain Allah karena hal itu telah diharam secara qoth’i. Keabsahan dan penunjukkan nash-nash yang mengarah kepada keharaman tersebut telah disepakati oleh umat islam, dan siapa saja yang mengingkari apa yang ditunjuk oleh nash-nash tersebut maka dia kafir. Ertinya, siapa saja yang tidak mahu berhukum kepada hukum Allah dengan alasan bahwa hukum Allah itu tidak layak bagi manusia, dan ada sumber hukum lain yang lebih baik dari hukum Allah, maka dia kafir. Masalah ini sangat dikenal (ma’lumun min ad diin bidhdhorurah), sehingga saya tidak perlu lagi menampilkan dalil-dalilnya.
2. Kewajipan tunduk kepada hukum syara’ ini tidak hanya jatuh kepada individu, tapi juga jatuh kepada institusi negara. Negara dalam islam dianggap seperti “seseorang” yang memiliki kewajiban untuk terikat kepada hukum Allah. Negara tidak dibenarkan melepaskan diri dari hukum Allah, apa pun alasannya. Maka dari itu umat islam tidak hanya wajib menanamkan aqidah islam dalam dirinya, tapi mereka juga wajib menjadikan islam sebagai aqidah bagi negaranya. Mereka tidak hanya dituntut untuk menegakkan kedaulatan syara’ di dalam dadanya masing-masing, tapi mereka juga wajib menegakkan kedaulatan syara’ di dalam negara yang meraka diami. Dengan demikian, negara akan berfungsi sebagai penegak syariat. Hal-hal yang absolute di dalam islam akan diperlakukan sebagai hukum yang absolute, tidak boleh diganggu gugat. Maka penzina wajib disebat, pencuri wajib dipotong tangannya, orang murtad wajib dibunuh, zakat wajib dipungut dari warga yang muslim, jizyah wajib diambil dari warga yang kafir yang mampu(dzimmi), jihad ofensif wajib dilakukan, dsb. Hukum-hukum itu wajib diperlakukan tanpa meminta persetujuan rakyat, sebab negara dan rakyat sama-sama wajib tunduk kepada hukum islam. Inilah yang dicontohkan oleh rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjalankan Negara Islam yang pertama. Adapun dalam hal-hal dzanni, maka keputusannya didasarkan pada ijtihad, bukan suara majoriti. Negara wajib mengambil satu ijtihad yang menurutnya memiliki dalil yang paling kuat, sebab, hukum syara’ yang dzanni itu memang muncul dari ijtihad, bukan kehendak orang ramai (undian). Adapun masalah di luar penentuan hukum, maka boleh diputuskan dengan suara terbanyak (seperti penentuan teknikal dan administrasi), kecuali menyangkut perbahasan bidang kepakaran tertentu.
3. Demokrasi pada faktanya tidak sesuai dengan dua point di atas. Secara formal, negara demokrasi tidak tunduk kepada hukum Allah, tapi ia tunduk kepada kehendak rakyatnya. Negara demokrasi hamba kepada rakyatnya, bukan hamba kepada Allah. Ini adalah fakta tentang demokrasi yang tidak diingkari oleh manusia mana pun. Secara teori, negara demokrasi harus meluluskan kehendak rakyatnya tanpa memandang masalah lain (seperti apakah kehendak itu sejalan dengan hukum Allah atau tidak). Maka dari itu, demokrasi tidak peduli dengan masalah kewajiban untuk tunduk kepada hukum Allah. Ini tentu saja bertentangan dengan konsep negara dalam islam, dimana dalam islam, negara itu wajib untuk menegakkan hukum syara’ dan menyebarkanluaskan dakwah.
Atas dasar itu, tanpa harus memiliki kemampuan untuk berijtihad, siapa saja mampu melihat bahawa sistem demokrasi itu memang tidak menjadikan syara’ sebagai tempat kembali dalam menentukan hukum, aturan, dan keputusan yang diperlalukan oleh negara. Yang diperlukan di sini hanyalah proses penelaahan terhadap fakta demokrasi (tahqiqul manath), yang mana, fakta itu telah dijawab secara qothi oleh syara' sejak dulu. Faktanya adalah bahwa negara demokrasi itu merupakan institusi yang berhukum kepada rakyatnya, bukan kepada Allah. Allah tidak “diberi” kedudukan formal apa pun dalam sistem demokrasi, oleh itu rakyatlah yang memiliki kedudukan tertinggi. Fakta ini telah dibathilkan secara pasti (qoth’i) oleh nash-nash islam. Maka tidak dibenarkan adanya ijtihad dalam menentukan sikap terhadap demokrasi.
Ada pun perkataan sebagian orang bahawa demokrasi adalah hukum masyawarah, itu tidak benar. Kerana fakta demokrasi berzeda dengan musyawarah. Rasulullah shollallahu ‘alihi wa sallam sering bermusyawarah dan mengambil pendapat, tapi pengambilan pendapat yang beliau laksanakan  itu bukan dalam rangka menentukan hukum. Sebab, dalam masalah hukum, rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam hanya akan memutuskan dengan wahyu saja, tidak dengan pengambilan pendapat. Masalah ini sangat difahami oleh para sahabat, sehingga mereka tahu dalam hal seperti apa mereka boleh memberi pendaopat kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya menjelang perang Uhud diadakan musyawarah dan pungutan suara terkait dengan masalah apakah kaum muslimin akan menghadapi Quraisy di dalam kota Madinah atau di luar kota Madinah. Musyawarah dan pungutan suara ini bukan dilakukan dalam rangka menentukan hukum perang, sebab hukum perang telah ditetapkan oleh nash. Pungutan suara juga tidak dilakukan dalam menentukan hukum berperang di dalam kota dan di luar kota, sebab kedua pilihan itu hukumnya sudah tidak diperselisihkan lagi, yaitu mubah. Syara’ membolehkan mereka untuk memilih salah satu di antara dua pilihan tersebut. Ertinya, pungutan suara tersebut dilakukan untuk memilih salah satu diantara dua pilihan aktiviti yang sama-sama mubah, bukan dalam rangka menentukan hukumnya. Kesimpulannya, pungutan suara boleh dilakukan dalam rangka meletakkan pilihan terhadap salah satu hal di antara hal-hal yang boleh dilakukan, bukan dalam menentukan hukumnya, sebab hukum Allah (penentuan halal-haram) tidak boleh ditetapkan dengan kutipan suara.
Sedangkan orang yang mengatakan bahAwa menjalankan demokrasi adalah tindakan yang diambil dalam keadaan darurat, maka itu tidak benar. Bagaimana apapun keadaanya, menjalankan demokrasi itu bukan satu-satunya pilihan. Sebab darurat secara syar’i adalah sesuatu yang memberikan desakkan yang bersifat mematikan sehingga mahu/tidak-mahu desakan itu harus dihindari. Misalnya, seseorang yang dipaksa menjalankan demokrasi karena adanya ancaman pembunuhan keluarga, maka langkah darurat diambil sepanjang ancaman itu masih wujud. Jika ancamannya hilang, maka kembali kepada keadaan normal. Namun patut dicatat bahawa desakan seperti itu hanya dialami oleh individu tertentu, dan tidak dialami oleh semua orang, sehingga hukum darurat tidak sepatutnya diperlakukan kepada seluruh umat islam -hanya kerana desakan mematikan yang menimpa segelintir orang. Maka dari itu, langkah darurat untuk mengakui demokrasi tidak boleh diambil oleh sebuah parti atau jama’ah islam hanya kerana serangan mematikan yang dialami oleh anggota-anggotanya. Namun demikian, anggotanya secara personal boleh mengambil langkah darurat, meski pun dalam hal yang mengancam keselamatan diri, mengambil langkah sabar lebih utama.
Ini dari satu sisi, dari sisi lain, bagaimana pun keadaannya, kita tetap tidak boleh mengeluarkan seruan umum kepada umat bahwa demokrasi itu benar. Sebab, para ulama tidak pernah menghalalkan yang haram dalam keadaan darurat, namun mereka selalu menjelaskan bahwa kebolehan mengambil sesuatu yang haram dalam kondisi darurat itu hanyalah rukhshoh. Penjelasan itu dilakukan dengan tidak menutup-nutupi hukum azimah-nya (aslinya) yang haram. Di saat makan babi dibolehkan karena tidak ada pilihan lain, maka para ulama tidak menipu umat dengan mengatakan bahwa babi itu halal. Mereka tetap menjelaskan hukum azimahnya bahwa babi itu haram. Atas dasar itu, jika umat islam yang mengambil demokrasi itu memang menganggap bahwa ikut menjalankan sistem demokrasi adalah langkah darurat, maka mereka tetap wajib menjelaskan kepada ummat bahwa azimahnya adalah haram, tidak boleh taqiyah, tidak menipu umat, dan tidak boleh menyembunyikan kebathilan demokrasi dari mata umat.
Bagaimana Dengan Umat Islam Yang Pro-Demokrasi?
Mengingkari kewajiban berhukum dengan hukum Allah itu jelas kafir, tidak ada perdebatan lagi. Namun, kita tidak boleh secara umum mengkafirkan orang islam pro-demokrasi. Memang, kami katakan sistem demokrasi sendiri sistem kufur, ertinya, ia merupakan sistem yang tidak islami. Tapi orang yang membelanya belum tentu kufur. Hal itu kerana diantara mereka ada yang salah dalam memahami fakta demokrasi. Mereka tidak bermaksud mengingkari nash-nash qoth’i tentang kewajiban berhukum kepada hukum Allah. Namun, mereka telah enghayalkan konsep demokrasi dengan cara mereka sendiri sehingga seolah-olah ia tidak bertentangan dengan nash. Misalnya, mereka mengatakan, demokrasi itu adalah sistem yang tidak akan menggoyang hal-hal yang telah tetap dalam islam, atau perkataan mereka, demokrasi bagi umat islam tidak akan membahayakan syariat kerana kehendak rakyat islam tidak mungkin akan menyalahi syariah yang mereka imani. Itulah diantara perkataan mereka. Konsep demokrasi khayali itu sebenarnya hanya ada dalam kepala. Ia berbeza dengan realiti demokrasi yang ada di dunia nyata. Ia juga berbeza dengan demokrasi yang difahami oleh penduduk dunia. Dan pada faktanya, demokrasi di negeri-negeri islam tetap menggugat hal-hal yang bersifat syar’i. Dan pada faktanya, tidak akan ada negara demokrasi yang menjadikan syara’ sebagai pemegang kedaulatan mutlak. Bahkan, bukan demokrasi namanya kalau masih ada hal yang dianggap berdaulat secara absolute selain rakyat. Setiap suara yang terlibat dalam demokrasi itu secara formal wajib didengar, padahal, rakyat itu tidak mungkin 100% setuju dengan islam.
Lantas bagaimana dengan status orang yang menjalankan sistem demokrasi? Jika ia yakin bahwa kehendak rakyat itu mutlak lebih baik dan lebih harus ditaati dari pada nash-nash syara’, maka dia kafir secara pasti. Sebab dia menganggap bahwa rakyat lebih baik keputusannya dari pada Allah. Namun, jika dia mentaati kehendak rakyat kerana merasa tidak mampu melawan, atau karena takut kehilangan jawatan, tanpa mengingkari wajibnya berhukum dengan hukum Allah, maka dia telah bermaksiat dengan kemaksiatan yang besar, meski dia tidak kafir, tapi dia harus bertaubat.
Kesimpulan
Proses tahqiqul manath telah memastikan bahwa sistem demokrasi itu menempatkan rakyat sebagai sumber kedaulatan, ertinya, rakyat adalah tuan yang mutlak harus ditaati. Padahal, nash-nash syara’ telah memberi ketentuan yang tegas/qoth’i, bahwa berhukum kepada selain Allah adalah bathil. Maka dari itu, tidak ada ijtihad dalam menentukan status sistem demokrasi. Sebab, tidak ada ijtihad jika telah ada nash yang qoth’i.


 wallahua'lam

artikel asal dialih bahasa ke bahasa melayu tanpa menghilangkan maksud sebenarnya 

Monday, July 15, 2013

SIRAH NABI SAW SEBAGAI SUMBER HUKUM

Oleh: Muhammad Lazuardi al-Jawi

Sebagian dari kita sering menyamakan sirah (baca: Sirah Nabi Saw) dengan tarikh (sejarah) biasa. Padahal, dari sisi sumber dan metode penuturan (transmisi), ada perbedaan mendasar antara sirah dan tarikh. Misalnya, sirah biasanya didasarkan pada periwayatan sebagaimana halnya Hadis Nabi Saw. Bahkan, banyak kitab-kitab hadis yang di dalamnya justru memuat sirah. Karena itu, sirah sesungguhnya harus disejajarkan dengan as-Sunnah sehingga layak dijadikan sebagai salah satu sumber hukum Islam. Sebaliknya, tarikh tidak seperti itu. Tarikh bahkan sering tidak didasarkan pada penelitian atas informasi secara tepat, di samping sering mengalami percanggahan. Untuk mendalami sejauh mana perbedaan keduanya, tulisan berikut akan menelaah kitab Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, jilid I, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam bab, “Sîrah wa at-Târîkh”, yang didukung dengan penelaahan atas sejumlah kitab yang lain.

Pengertian Sirah

Sirah (sîrah) secara bahasa berarti jalan (ath-tharîq).*1) Kata sirah biasanya digunakan untuk menyebut Sirah Nabi Saw (As-Sîrah an-Nabawiyyah), yaitu kisah hidup Nabi Saw; seperti kitab Sirah Nabi Saw yang dikarang oleh Ibn Ishaq (w. 153 H), al-Waqidi (w. 209 H), Ibn Hisyam (w. 218 H), Ibn Saad (w. 230 H), dan lain-lain.*2)

Keinginan untuk menulis Sirah Nabi Saw sudah muncul dan dilakukan oleh sejumlah sahabat seperti Urwah Ibn Zubair (w. 92 H), Wahab Ibn Munabbih (w. 105 H), Syurhabil Ibn Saad (w. 123 H), dan Syihab az-Zuhri (w. 124 H). Sebagian besar tulisan mereka tidak sampai kepada kita, kecuali yang sebagian yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabari dan sebagian bab yang ditulis oleh Wahab Ibn Munabbih yang tersimpan di kota Haidelberg, Jerman.

Para peneliti sepakat, bahwa karangan Ibn Ishaq tentang Sirah Nabi Saw adalah yang paling terpercaya pada masanya, walaupun kitab Maghâzi-nya tidak sampai kepada kita. Setelah itu pada periode selanjutnya muncul Abu Muhammad Abdul Malik yang dikenal sebagai Ibn Hisyam, setelah lebih dari 50 tahun Ibn Ishaq menulis kitab sirahnya.*3) Tentang hal ini, Ibn Khalkan berkata, “Ibn Hisyam adalah orang yang mengumpulkan (materi) Sirah Nabi Saw dari kitab Maghâzi dan sirah karya Ibn Ishaq. Kemudian ia meringkas dan merangkumnya. Inilah kitab (sirah) yang berada di tangan masyarakat dan dikenal dengan Sirah Ibn Hisyam.” *4)

Sirah Nabi Saw biasanya disandarkan pada berbagai hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat, tabiin, dan generasi sesudah mereka tentang kehidupan Nabi Saw sejak kelahirannya, pertumbuhannya, dakwahnya pada Islam, jihadnya atas kaum musyrik dan peperangannya. Secara umum Sirah Nabi Saw mencakup seluruh kabar tentang Nabi saw. dari sejak kelahirannya sampai wafatnya.*5)

Selain dalam kitab-kitab sirah, riwayat yang menceritakan kehidupan Rasul saw. juga terdapat dalam kitab-kitab hadis. Misalnya, dalam Shahîh al-Bukhari terdapat kitab Al-Maghâzi (kitab yang berisi cerita perang pada masa Rasul Saw); dalam Shahîh Muslim terdapat kitab Al-Jihâd dan kitab As-Siar (Sirah); serta dalam kitab-kitab hadis yang lainnya yang berisi hadis sahih, hasan, dan juga dhaif —seperti kitab Ashâb as-Sunnan (kitab sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibn Majah, dan lain-lain).*6) Bahkan Imam at-Tirmidzi menulis sebuah kitab yang ia beri judul Asy-Syamâ’il al-Muhammadiyyah, yang berisi hadis-hadis yang menjelaskan sifat, ciri-ciri fisik, perilaku, peribadatan, dan hal lain yang berhubungan dengan diri Rasul Saw.*7)

Dengan kitab Sirah Nabi Saw dapat diketahui risalah yang dibawa oleh beliau kepada manusia untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, dari penyembahan terhadap hamba ke penyembahan kepada Allah SWT.*8) Dengan Sirah Nabi Saw pula, kita dapat mengetahui kehidupan beliau sejak beliau dilahirkan, pertumbuhannya, hingga beliau dewasa; saat-saat menerima wahyu dan dakwahnya kepada manusia dan ajakannya pada agama yang lurus (Islam); termasuk konsekuensi yang beliau hadapi dalam menyebarkannya berupa penentangan, apa yang terjadi antara dirinya dan mereka yang menentangnya (orang-orang musyrik) berupa ‘pertarungan’ argumentasi, dan mereka yang mencintainya hingga berkibar bendera kebenaran dan bersinarnya cahaya iman.*9)

Perbedaaan Tarikh Dan Sirah Tarikh (târîkh) secara bahasa adalah sejarah masa lalu. Adapun secara istilah —diambil dari penjelasan Imam as-Sakhawi— tarikh digunakan untuk membatasi peristiwa-peristiwa pada suatu masa dari aspek penentuan dan waktu terjadinya.*10)Kata tarikh lebih umum penggunaannya dibandingkan dengan kata sirah; kata sirah lebih sering digunakan untuk menjelaskan kehidupan Rasul Saw mulai dari kelahirannya sampai beliau wafat. Adapun kata tarikh, cakupan kajiannya lebih luas; adakalanya ia digunakan untuk membahas tarikh tasyrî’ Islam (sejarah kodifikasi hukum Islam), tarikh fikih Islam (sejarah fikih Islam), atau tarikh Madzâhib Islâmiyyah (Sejarah Mazhab-mazhab dalam Islam), tarikh Khulafâ’ (Sejarah Para Khalifah), tarikh falsafi Islam (Sejarah Filsafat Islam), dan lain-lain.

Perbedaan lainnya, hampir seluruh sirah ditulis dengan mencantumkan sanad-nya (yaitu matarantai perawi hingga ke matan-nya). Hal ini bermula ketika pada Abad Kedua Hijrah sejumlah ulama mengumpulkan khabar tentang sirah Rasul Saw, sebagian digabungkan dengan sebagian yang lain. Pembukuan dilakukan dengan metode periwayatan, dengan menyebut nama perawi dan orang yang meriwayatkan, persis sebagaimana periwayatan yang dilakukan dalam hadis. Oleh karena itu, para ulama hadis dan para penelitinya dapat mengetahui berita sirah yang sahih, yang dhaif, atau yang mardûd (tertolak), melalui penelitian mereka atas para perawi dan sanadnya.*11,12)

Walhasil, riwayat tentang kehidupan dan diri Nabi saw.yang terbukti sahihlah yang dapat dijadikan sebagai rujukan. Sebab, sirah adalah bagian dari as-Sunnah, yang tidak boleh diambil kecuali jika ia terbukti merupakan riwayat yang sahih.*13) Oleh karena itu, sirah lebih otentik dari pada tarikh, karena adanya sanad. Dengan dicantumkannya sanad, maka dapat diteliti sejauh mana kebenaran informasi yang terkandung dalam kabar atau riwayat tersebut; yakni dengan cara meneliti kesinambungan sanad,*14) keadilan para perawi,*15) serta ada-tidaknya syadz*16) dan ‘illat*17) dalam khabar tersebut.*18)

Adapun tarikh, sebagian ada yang ditulis dengan mencantumkan sanadnya seperti Târîkh al-Khulafâ’ yang dikarang oleh Imam as-Suyuti*19) atau Târîkh Tasyrî’ Islâm (sejarah kodifikasi hukum dalam Islam).*20) Pengarang kitab-kitab ini menyebutkan nama perawinya sehingga dimungkinkan diteliti otentitas berita yang diriwayatkannya, sebagaimana dilakukan dalam kitab hadis dan kitab sirah. Ada pula kitab tarikh yang tidak mencantumkan sanadnya seperti Târîkh Umam wa al-Mulk (Sejarah Bangsa-bangsa dan Para Raja), Târîkh Fiqh al-Islâm (Sejarah Fikh Islam),*21) atau Târîkh Falsafi Islâm (Sejarah Filsafat Islam),*22) dan lain-lain. Pada umumnya, mereka hanya menyebut peristiwa dan kejadian tanpa menyebut sanad dan perawinya sehingga kitab-kitab mereka tidak dapat dijadikan sebagai sandaran sirah, kecuali jika seorang pengarang melakukan tahqîq (penelitian) ketika menulis berita sirah dan ia termasuk perawi yang terpercaya. Jika tidak demikian, perkataannya atau apa yang ia informasikan tidak dapat dijadikan sebagai bukti.*23)



Sirah Nabi Bukan Sejarah Tanpa Makna

Musuh-musuh Islam memang tidak menghendaki kaum Muslim berpegang teguh dengan syariat Islam secara utuh. Mereka berusaha keras untuk memisahkan kaum Muslim dari syariat Islam. Di antaranya adalah dengan memberikan gambaran yang kabur, bahkan miring, terutama terhadap sejarah Islam. Misalnya, dengan mengatakan bahwa Sirah Nabi saw. hanyalah kumpulan peristiwa sejarah yang tidak bermakna. Untuk membantahnya, kita harus memahami bahwa secara umum tarikh atau sejarah ditulis dengan menggunakan 3 (tiga) sumber, yaitu:

1. Catatan sejarah.Catatan sejarah tidak boleh dijadikan sebagai sebagai sumber sejarah secara mutlak. Alasannya, catatan-catatan sejarah ini sering dipengaruhi oleh situasi politik pada suatu masa dan tidak jarang bercampur dengan kepalsuan akibat sang penulis sejarah cenderung mendukung tokoh tertentu dan menjelekkan tokoh yang lain. Contoh adalah catatan sejarah keluarga Muhammad Ali Pasya (gubenur di Mesir pada masa Daulah Utsmaniah). Sebelum tahun 1952, keluarga ini mempunyai gambaran yang mulia, tetapi setelah tahun 1952, gambaran tentang keluarga ini berubah menjadi kelam, karena terpengaruh kondisi politik saat itu yang ‘anti’ dengan Khilafah, terutama Khilafah Utsmaniyah.

2. Peninggalan sejarah.Berkenaan dengan peninggalam (arkeologi) sejarah, apabila dikaji dengan obyektif, akan menunjukkan sebuah fakta sejarah, walapun belum dapat menunjukkan kepastian dari sebagian peristiwa. Jika kita meneliti peninggalan di negeri kaum Muslim, baik berupa bangunan, peralatan, atau apa saja yang dapat dikategorikan sebagai peninggalan sejarah, akan terbukti bahwa tidak pernah ada dalam Dunia Islam kecuali hanya Islam, peraturan dan hukum Islam semata, bukan yang lain. Keberadaan masjid Aya Sofia, benteng-benteng dan Istana Khalifah di Istambul, Turki, misalnya, merupakan bukti bahwa dulunya ia merupakan pusat dari Daulah Islamiyah yang disegani oleh musuh-musuhnya.

3. Riwayat.Riwayat adalah sumber yang dapat dipercaya dan dapat dijadikan pegangan, tentu jika riwayatnya terbukti sahih; persis dengan cara yang ditempuh dalam periwayatan hadis. Dengan metode inilah seharusnya sejarah umat Islam ditulis, sebagaimana sejarahwan Islam pada masa lalu yang menulis sejarah dengan menggunakan metode periwayatan. Contohnya dapat kita lihat dalam buku tarikh klasik seperti Târîkh ath-Thabari, Sîrah Ibn Hisyâm, dan lain-lain. Atas dasar inilah, kaum Muslim tidak boleh mengajarkan sejarah Islam kepada putra–putrinya dengan menggunakan catatan sejarah yang ditulis ‘hanya’ dengan merujuk pada catatan sejarah yang tidak memiliki sanad; tidak pula diperkenankan untuk mememahami penerapan Islam ‘hanya’ melalui buku atau catatan sejarah tanpa mencantumkam sanadnya. Dari sini, menjadi jelaslah bahwa ‘hanya’ Islam yang diterapkan atas seluruh umat Islam pada setiap masa.*24)

Walhasil, hanya kitab tarikh yang ditulis dengan metode periwayatan sebagaimana metode penulisan kitab sirah dan hadislah yang dapat diterima.

Sesuatu yang terjadi selain zaman para sahabat tidaklah terlalu penting. Sebaliknya, apa yang terjadi pada masa para sahabat adalah penting untuk diketahui, karena Ijma Sahabat adalah salah satu materi tasyrî’ (sumber hukum) setelah al-Qur’an dan as-Sunnah; di samping karena pendapat seorang sahabat adalah pendapat seorang mujtahid, apalagi yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan roda pemerintahan, administrasi, dan politik. Mereka adalah kaum terbaik yang yang diberi akal oleh Allah untuk memahami hukum syariat dari nash-nashnya. Mereka juga adalah sebaik-baik kaum yang menerapkan hukum Islam dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah terhadap rakyatnya, baik Muslim maupun ahludz dzimmah.
Oleh karena itu, tarikh Daulah Islam pada masa para sahabat harus diketahui. Walaupun demikian, kaum Muslim boleh mengetahui berbagai peristiwa yang terjadi pada masa setelah masa sahabat. Kaum Muslim pun memiliki berbagai sumber yang menceritakan berita para sahabat, selain kitab tarikh, seperti kitab Al-Amwâl karangan Abu Ubaid, Al-Muwatha’ karangan Imam Malik, dan kiatb-kitab hadis yang meriwayatkan hadis sahih dan hadis hasan.*25)

Adapun peristiwa dalam tasyrî’ Islam selain pada masa para sahabat biasanya menjelaskan masalah jihad, muamalah dengan ahludz dzimmah, kharaj, ‘usyur, keamanan, gencatan senjata, hukum tentang ghanîmah (rampasan perang), fa’i, dan gaji tentara. Semua itu dapat memberi gambaran kepada kita tentang fakta dari penerapan syariat Islam oleh Daulah Khilafah Islam dari masa ke masa.*26)

Wajib Mengambil Metode Dakwah Berdasarkan Sirah Nabi Saw

Pasca runtuhnya Daulah Khilafah Islam, negara-negara kafir mendominasi negeri-negeri kaum Muslim. Mereka lalu membaginya menjadi lebih dari 50 negara dan memaksakan pengaruh mereka dalam bidang politik, ekonomi, militer, kebudayaan kepada negara-negara tersebut.

Karena itu, perkara utama yang harus diperhatikan bagi para pengemban dakwah adalah kembali berpegang teguh dengan metode yang pernah ditempuh oleh Rasul Saw dalam mengemban dakwahnya, termasuk marhalah (tahapan) yang beliau jalani hingga dakwahnya berhasil.

Oleh karena itu, mereka harus memahami Sirah Nabi Saw secara tasyrî’i (dalam konteks pengambilan hukum). Dengan kata lain, umat Islam harus melihat Sirah Nabi Saw sebagai kitab dakwah, sebagai manhaj (jalan dakwah) yang ditempuh oleh beliau, dan sekaligus sebagai metode yang tiada bandingannya, yang wajib diikuti dalam upaya mendirikan masyarakat Islam, mewujudkan kekuasaan Islam, dan mengembalikan Islam dalam realitas kehidupan.

Sirah merupakan salah satu materi tasyrî’, karena ia merupakan bagian dari as-Sunnah. As-Sunnah sendiri menurut para ulama ushul adalah semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang berasal dari Nabi Saw (selain al-Qur’an), yang layak dijadikan dalil bagi hukum syariat.*27) Dengan demikian, memperhatikan sirah dan mengikutinya, terutama yang terkait dengan metode dakwah yang beliau lakukan, adalah perkara yang sifatnya wajib.*28)

Catatan Kaki:

1.       Rawas Qal’ah Ji. Mu‘jam Lughah al-Fuqahâ’, hlm. 235.
2.       Taqiyudin an-Nabhani. Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, 1/358-359. Penerbit Dar al-Umah. Cetakan ke–4.
3.       Said Ramadhan al-Buthi. Fiqh as-Sîrah, hlm. 21. Penerbit Dar al-Fikr.
4.       Ibn Sayid an-Nas. ‘Uyûn al-Atsar; Abdus Salam Harun. Tahdzîb Sîrah Ibn Hisyâm, hlm. 8. Penerbit Muasasah ar-Risalah.
5.       An-Nabhani, op.cit., 1/358.
6.       An-Nabhani, ibid.
7.       Asy-Syamâ’il al-Muhammadiyah wa al-Khashâ’is al-Musthafawiyyah. Penerbit Nazar al-Musthafa al-Baz, 1425 H/2004 M. Cetakan ke-2.
8.       Syaikh Syafi ar-Rahman al-Mubarakfuri. Ar-Rahîq al-Makhtûm. Penerbit Darul Salam, Riyadh, 1414 H.
9.       Kitab Ar-Rawdh al-Anf. Penerbit Dar Ma’rifat, 1398 H/1978 M.
10.   Al-Mawsû‘ah al-Fiqhiyyah, jld. 10.
11.   An-Nabhani, op.cit., 360.
12.   Menurut Ibn al-Mulaqqin, ilmu hadis itu mencapai 200 cabang. Lihat: Ali Mustafa Ya’qub. Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam. Penerbit Pustaka Firdaus, 1999. Cetakan I.
13.   An-Nabhani, op.cit., 1/359.
14.   Maknanya, setiap perawi dalam sanad mengambil hadis atau khabar secara langsung dari perawi di atasnya, mulai dari awal hingga akhir sanad. Lihat: Mahmud Thahhan. Taysîr Musthalah al-Hadîts, 30-31. Penerbit Dar al-Fikr.
15.   Maknanya, setiap perawi dalam sanad adalah Muslim, balig, berakal, tidak fasik, dan tidak melakukan sesuatu yang merusak kehormatan (murû‘ah). Lihat: Mahmud Thahhan, ibid., hlm. 30-31.
16.   Maknanya, hadis tersebut selamat dari syadz. Syadz secara bahasa menyendiri; hadis (baik) sanad atau matannya diriwiyatkan oleh orang yang tsîqah (terpercaya), tetapi menyelisishi hadis yang diriwiyatkan oleh orang lebih tsîqah darinya. (Lihat: Mahmud Thahhan, ibid., hlm. 30-31; M. Anwar, Bc., Ilmu Musthalah Hadis, hlm. 35–37. Penerbit Al-Ikhlas, Surabaya.
17.   Maknanya, hadis itu selamat dari ‘illat yang merusak. ‘Illat yang tersembunyi (bisa terdapat dalam sanad atau matan) seperti sanad yang sepertinya bersambung tetapi ternyata terputus, atau sepertinya tampak sebagai sabda Nabi saw. tetapi sebenarnya ucapan sahabat (Lihat: Mahmud Thahhan, ibid., 30-31. M. Anwar, Bc., ibid., 35-37.
18.   Al-Hafizh Ibn Shalah. ‘Ulûm al-Hadîts.
19.   As-Suyuthi. Târîkh al-Khulafâ’. Penerbit Maktab Nazar Musthafa al-Baz, 1425 H/2004M. Cetakan I.
20.   Syaikh Muhammad al-Hasan al-Hajwi ats-Tsa’labi al-Fasi. Fikr as-Samî‘ fî Târîkh al-Fiqh al-Islâmî. Penerbit Dar Kutub al-Ilmiyiah, Lebanon, 1416 H/1995 M.
21.   Musthafa Said al-Khan. Dirâsah Târîkhiyyah li al-Fiqhi wa Ushûlihi, 1404 H/1984 M; Syaikh Abu Zahrah. Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah fî as-Siyâsiyah wa al-Aqâ‘id wa Târikh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah. Penerbit Dar al-Fikr al-’Arabi, 1996.
22.   Abdul Halim Mahmud. At-Tafkîr al-Falsafi fî al-Islâm. Penerbit Dar al-Maarif, t.t. Cetakan ke-2.
23.   An-Nabhani, op. cit., 1/360.
24.   An-Nabhani. Nizhâm al-Islâm, hlm. 55-56. Diterbitkan oleh Hizbut Tahrir, edisi mu‘tamad.
25.   An-Nabhani, op. cit.,1/361-362.
26.   An-Nabhani, op. cit.
27.   Ajaj Al-Khatib. As-Sunnah Qabla Tadwîn, hlm. 18. Penerbit Dar al-Fikr.28. An-Nabhani, op. cit., 1/359.



THE POLITICS OF POPULATION


Countries all over the world are marked the global population reaching seven billion by each nominating a child born on 31 October. The UN calculated the milestone would be reached at some point on Monday 31st October. But as the global population rises, the proportion of young people is decreasing, and the gap between the rich and poor is widening too.

Modern research on the genetic structure of human populations suggests that nearly 15 000 years ago the world population was 15 million (the present population of Delhi, India). The population by the time of Isa (AS) over 2000 years ago had increased to 250 million (about the same as present day Indonesia). On the eve of the industrial revolution in the 18th century world population had tripled to about 700 million (double the size of current day America). In the two centuries that followed the global population increased at an annual rate of 6% reaching 2.5 billion by 1950. In the five decades that followed global population has more then doubled at a rate of 18% to reach more then 6 billion on the eve of the 21st century. Although growth rates are slowing, barring some demographic catastrophe the world population should reach 9 billion by 2050. The current population of the world stands as of November 2011 at 7 billion.

The myth of world overpopulation

The situation of the majority of the world's people is one of abject poverty and misery. 3 billion in the world live on fewer than two dollars a day. From amongst them 1.3 billion have no access to clean water; 3 billion have no access to sanitation and 2 billion have no access to electricity. The rate of population growth over the last century has been labelled the underlying cause of the world standing on the brink of disaster; we are running out of food to sustain such growing population. It is argued by the proponents of over-population that the huge growth in world population is responsible for poverty, environmental destruction and social unrest. Economic development in the third world is impossible as long as populations continue to grow as a result international agencies and governments have developed numerous programmes to curtail the rate of population growth, all of these have been implemented in the third world.

The United Nations sponsored the first conference of its kind in 1994 in Cairo to examine the problem of overpopulation and propose measures to control it. The conference debated numerous approaches to control fertility; it promoted the use of contraception, promoted liberal economic development and called for the improving of women's status. The basis of the conference was an acceptance that population growth contributes to economic decline and efforts to control population growth is hampered in the third world by religious beliefs that promote large families and lack of education for women.

Such efforts have led to an acceptance that Population growth leads to negative effects such as Economic decline, Stagnation, Global poverty, Hunger, Environmental devastation and Political unrest. Such a philosophy has been the driving engine for the UN and World Bank. Population growth is a problem of Africa, Latin America and Asia and if the problems are to be solved then such countries are the ones that must do it. Hence the victims who have suffered the worst are to blame with empirical research proving such an assumption.

The first person to advocate such a view was reverend Thomas Malthus in 1798, who in his famous Essay on the Principle of Population, stated that scarcity will lead to problems because while populations increase at a geometrical ratio, (2, 4, 8, 16, 32) resources such as food increase with a ratio that is only arithmetic (2, 4, 6, 8, 10). As a result, without 'checks' to control fertility, populations will increase, use up the worlds resources causing famines, war and disease to balance resources and population.

This alleged over-population has to be in relation to something to qualify it being over. That something is the use of resources. The resources being consumed leading to global imbalances are attributed to population sizes.

Although there is no consensus on why the first nation in the world to industrialise was Britain its causes are generally accepted as potentially 8 factors, one of them being the growth in population.

Following the union with Scotland in 1707, the British population stood at 6.5 million; a century later it had reached 15 million. More importantly, most of that growth had taken place after 1750 in one of the greatest population explosions in British history. By 1801 the population had grown to well over 16 million. This increase was critical as it increased the potential labour force and consumers of commodities. China and India have also proven that large populations are a good thing, although during the 1960's and 1970's both nations implemented programmes of population reduction under the influence of the West both managed to reduce the size of population growth but have been unable to curtail it and at the same time they represents the largest growing economies of the world, which contradicts the overpopulation view that more means more resources being depleted.

Capitalism = Poverty

When all assumptions on the effects of population growth are scrutinised population increases in no way has ever contributed to the many ills of the world today and what becomes clear is that there is a clear political agenda in attributing the increasing global population as the cause of the worlds potential disaster. This agenda is to shift the real cause away from the lifestyles, living patterns, un-sustainability of consumerism, poverty and blatant abuse of the Third world in order that the western world can live of the third world. Accusing population of causing the worlds ills would be tantamount to accusing too many women in the world for the high rape rate in the West or the existence of too many trees for causing bush fires in the world.
The developed world faces a very series conundrum; Japan, Russia, Germany, Switzerland and much of Eastern Europe are experiencing population decline, due to a huge reduction in births. The rest of the Western world would also have declining populations was it not for immigration. As population numbers decline in the West relative to the third world and Muslim world such countries will have a legitimate right based upon their numbers to demand greater say in so called international institutes and representation on international bodies. The issue of overpopulation is a very useful tool to vilify nations with have rising populations and at the same time protecting its potential loss of future influence. This can be seen clearly with Turkish EU accession, upon joining the EU, Turkey's almost 70 million inhabitants would bestow it the second largest number of MEPs in the European Parliament. In addition Demographic projections indicate Turkey would surpass Germany in the number of seats by 2020. Turkey's membership would have wide ranging consequences for the future direction of the EU including the thorny issue of future enlargement plans, grounds by which Valéry Giscard d'Estaing of France has opposed Turkey's admission. d'Estaing has suggested that it would lead to demands for accession by Morocco.

For all the blame placed on the third world for being too many in number The Industrialised West consume 81% of all that is manufactured in the world, although the third world has most of the resources and minerals needed to manufacture the worlds goods, the third world only consumes 3.6%. The Western world consumes 50% of the 21st century's most important resource; oil, it produced less then a quarter of it.

It's all about the Economy

The developed world has come to be characterised with its consumer industry, it has become obsessed with consumption. Economies are measured by their ability to produce more then the same period last year and Gross domestic product (GDP) has become the measurement by which progress and happiness is measured. Westerners view their needs as ever increasing and corporations with the help of new marketing techniques have over the years generated numerous artificial needs. The importance of the consumer to consume was outlined by Richard Robbins in his award wining book 'global problem and the culture of capitalism,' 'a couple of days after the al Qaeda operatives crashed two planes into the world trade centre on September 11th , US congress members met to plan a message to the stunned public. "We've got to give people confidence to go back outside and go to work, buy things, go back to the stores, get ready for thanksgiving, get ready for Christmas," said one member of congress, echoing the message of the president 'get out' he said "and be active members of our society." (CNN 2001). 'The fact that after one of the most shocking events in US history government officials were urging citizens above all to shop and work is ample testimony the significance of consumption in the effective working of our economy and indeed for the whole society."

Consumption and more consumption!

Society has been transformed from purchasing what was necessary to survive to buying habits where luxuries have been turned into life's necessities; this was largely achieved by marketing and advertising. The goal of advertisers has always been to aggressively shape consumer desires and create value in commodities by imbuing them with power which will transform any person into something more desirable. National campaigns are undertaken where celebrities effectively endorse them. Advertisers with the help of corporation's stir up anxiety and restlessness over the possession of things that are 'new' or 'up to date.' Being in possession of the 'fashionable' thing has become a necessity and being defined as 'unfashionable' is one of life's failures which capitalism created ensuring the consumer remains consuming.

The nuclear family of western nations (the 2.4 children family), while smaller in number then the Third world have always consumed far more resources. After WW2 the US Department of Commerce, at the pressure of affected businesses promoted the notion of larger homes, and even a room per child, in order to increase sales of the many products that are purchased in a home. Due to this the US with 4% of the world's population, consumes 25% of the world's resources. This is in stark contradiction to what is advocated by the US in regards "over" population.

It is to the consumer businesses look to supply their goods and for the impetus for the continued expansion of the economy and the accumulation of money. The reason why capitalism needs to continuously grow and expand is because for companies to make profits they need to continually sell more and more of their goods and services. These goods require resources which are naturally found in the Earth such as oil, gas water etc. This requires the pursuit of these minerals in the third world where most of the worlds minerals are and this is where the worlds shortage of food and global poverty lies. The advances in technology will ensure more goods are produced at cheaper prices undercutting competitors. The struggle lies in continually developing technology to produce items quicker and cheaper and at the same time ensuring consumers are always willing to buy them. The world's resources are limited hence more and more companies are competing for an ever more dwindling resource base.

In affect the developed world feeds of the third world, policies by government are influenced by the pursuit of national companies usually termed national interests. The need to continually produce more pushes companies to exploit countries with resources and the third world is duped with the opportunity of work. The numerous economic process zones in south East Asia, where workers work in dismal conditions earning just a few dollars a day are evidence of this. In such zones the companies concerned are not allowed to sell such products in the market the goods are produced in but are only allowed to have them produced which brings jobs to the host economy.

National Interests are the root of the problem

It was in the 1950's and 1960's the US developed a whole host of policies to counter the rise in population of the Third world. Population growth in poor countries started to become a concern to western governments. A US National Security Study memorandum produced in 1974 by the National Security Council at the request of then US Secretary of State, Henry Kissinger, concluded that there were four types of reasons that population growth in poor countries could be a threat to US national security:

1. Larger nations would gain greater political power

2. Populous nations would be more able to deny the West access to resources and materials

3. Growing number of younger people might be more able to challenge global power structures

4. Growing populations may be a threat to US investors in those countries.

The memorandum mentioned nations like India, Brazil, Thailand, Turkey, Ethiopia and Colombia as countries of concern in this respect. The request for the memorandum was called NSSM 200 (National Security Study Memorandum), while the official endorsing of it that led to it being a foreign policy guide was called NSDM 314 (a National Security Decision Memorandum).

The developed world led by the US was the driving engine behind the IMF and World Bank and their notorious structural adjustment programmes. The Third world was forced to privatise industry, deregulate its markets and turn their economies into factories for exports so the West can continue consuming. Free trade policies were forced on the third world which allowed the West to control essential industries in the name of free markets and globalisation. Such actions ensured a continued flow of cheap consumer items to the West, made by the very cheap labour of the third world.

The Khilafah Solution

The lifestyles of the developed world aswell as their consumption patterns are the real underlying issues which is causing the depletion of the worlds mineral resources. Their increased consumption has ensured the third world remains in a state of poverty, and at the same time the increasing population in the third world is blamed for some of the ills in the world.

Islam addressed to issue of consumption through a number of ayah's:

1. Rizq in origin is from Allah سبحانه وتعالى and Allah سبحانه وتعالى has ordered mankind to seek their provisions through halaal means. Amongst a whole host of Ayah's Allah سبحانه وتعالى made it very clear that he is the provider of ones provisions:
"And eat of what Allah provided to you." [Al-Maidah:88]
"Who created you then provided to you." [TMQ Ar-Rum:40]
"Spend of what Allah provided to you." [TMQ Ya-sin:47]
"Indeed Allah provides to whom He likes." [TMQ Al-Imran:37]
This means all Muslim should drive to earn and seek their provisions and how these are earned is what one will be accounted for on the day of judgment. One should seek them with the understanding that they will receive what has been ordained and not make this the one's ultimate aim in life. One should also work on the basis that there are sufficient mineral resources in the world for all to live handsomely as Allah سبحانه وتعالى has provided for all:
"It is He Who created for you all that is in the earth." [TMQ Al-Baqarah:29]
"Do you not see how Allah has made serviceable to you whatsoever is in the skies and whatsoever is in the earth, and He has loaded you with His favours, both the open and the hidden." [TMQ Luqman:20]
"Who has appointed the earth a resting-place for you, and the sky a canopy; and caused water to pour down from the sky, thereby producing fruits as food for you." [TMQ Al-Baqarah:22]
Hence Allah سبحانه وتعالى has created all the original minerals and resources necessary for one to sustain themselves, and then left mankind to work and manufacture goods or engage in agriculture.

2. Islam encouraged spending in the halaal things but prohibited excessiveness in ones spending.

Islam considered excessive spending foolishness (Safah) and squandering, Allah سبحانه وتعالى said
"and squander not (your wealth) in wantonness. Lo! The squanderers were ever brothers of the devils." [Al-Isra: 26-27]
Here Allah سبحانه وتعالى compares squanderers with the devils in their wickedness, which is the greatest rebuke, because there is none more 'devilish' than Satan, squandering means here to spend in the forbidden matters.

3. At the same time Allah سبحانه وتعالى orders one to spend in the halaal matters, Allah سبحانه وتعالى said
"Say: Who has forbidden the adornment of Allah which He has brought for His servants and the good things of His provision." [Al-A'raf: 32]
The Prophet صلى الله عليه وسلم said: "Allah loves to see the sign of His favour on His servant," narrated by At-Tirmidhi.
The Prophet صلى الله عليه وسلم said also: "If Allah gave you property, let Him see the sign of His bounties and dignity on you," narrated by Al-Hakim from the father of Abu Al-Ahwas.
So if someone has wealth and was miserly when spending on himself, he would be sinful in the sight of Allah, this also includes those he is responsible to support.

4. Islam mandated the Khaleefah to provide for the basic necessities of its citizens. Islam considers poverty as one matter for any person in any country and any generation. The basic needs in Islam are defined as three things, food, clothing and accommodation. Poverty in the view of Islam is the non-satisfaction of the basic needs in a complete way. Allah سبحانه وتعالى said:
"The duty of feeding and clothing nursing of mothers in a seemly manner is upon the father of the child." [Al-Baqarah: 233]
And
"Lodge them where you dwell, according to your wealth." [At-Talaq: 6]
Islam made the satisfaction of these basic needs and their provision a right for the person who cannot afford them. The Khaleefah would develop projects and give contracts ensuring the economy provides for every individuals needs. The Khilafah will also have an agricultural policy and grant those without jobs free land in order to develop it.

5. A large chunk of Islamic economics is dedicated to ensuring wealth distribution. Islam recognizes the differences in the ability and strength of people and does not leave things completely to the forces of supply and demand. Islam allows government intervention in the economy to bring equilibrium into the market. This is understood from the ayah "That it (i.e. the nation's wealth) does not become a commodity between the rich among you." (TMQ Al-Hashr: 7) This verse addressed the Ameer to ensure that wealth is not distributed in a manner where it remains amongst the rich alone. Hence Islam allowed government intervention to bring equilibrium in the economy.

6. Islam funds the basic needs of its entire population by designating any utility regarded as indispensable for the community, such that its absence would require people to search far and wide for it, i.e. the asset is difficult to find and make use of as it requires refining, as a public property. This means the utilities would be publicly owned and the revenue generated would be administered for the benefit of all citizens. This is derived from the hadith of the Prophet صلى الله عليه وسلم "Muslims are partners in three things: in water, pastures and fire". Although the hadith mentioned just three things we can utilize qiyas (analogy) and extend the evidence to cover all instances of indispensable community utilities. Thus water sources, forests of firewood, pastures for livestock and the like are all public utilities as well as the mosques, state schools (not including private schools), hospitals, oil fields, electricity plants, seas, lakes, public canals, gulfs, straits, dams etc.

7. Besides the public properties Islam laid down a number of rules to ensure wealth continually circulates and penalized and in some cases taxed those who hoard their wealth. Islam has a whole host of rules which restrict the hoarding of wealth and promotes spending ensuring wealth distribution. Islam has land taxation where Khara'j which is a tax estimated on the quality of the land, and Ushri, which is a tax on the produce from the land. Islam allows the confiscation of land if it's unused for 3 years. This rule would effectively end the monopoly some families have in the third world who inherited huge lands from the departing colonialists, unless it's used productively which would aid wealth distribution

Conclusions

It should be very clear the problem of global imbalances lies well and truly in the policies of the Western nations. Whilst the Third world drowns in the misery of poverty the governments of the developed world lay the blame on the victims for their own misery. The Khilafah has a track record of taking care of the affairs of its citizens and has in its possession a number of policies which will not just ensure all its citizens are catered for but it will place this on the global agenda exposing the West and bringing to an end the exploitative policies of Capitalism.