BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Wednesday, July 31, 2013

DEMOKRASI : MASALAH IJTIHAADIY ATAU APA??

Apa yang paling menarik dari persaingan antara mantan First Lady, Hillary Clinton, dengan Barack Obama dalam merebutkan sokongan kaum demokrat di Amerika?
Menurut saya, yang paling menarik dalam peristiwa ini adalah bahwa sebenarnya proses pilihanraya itu bukan hanya tertuju kepada perlembagaan yang ada di sana, tapi ini juga merupakan pertunjukan yang disajikan kepada masyarakat dunia. Apa yang ingin ditunjukkan oleh Bangsa Amerika kepada dunia? Jawabnya adalah “DEMOKRASI“. Siapa pun yang menang diantara dua calon dari Demokrat maka dia akan berhadapan dengan calon kaum republikan. Dan pilihan yang ditawarkan oleh Parti Demokrat tidak lepas dari dua pilihan, yakni : WANITA atau KULIT HITAM. Keduanya adalah sampel terbaik untuk menegaskan bahwa demokrasi merupakan sistem yang tidak pandang bulu, ertinya, semua orang memiliki kedudukan dan kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Jadi, dalam kes ini, Parti Demokrat merupakan wakil jiwa Bangsa Amerika sebagai hamba-nya demokrasi. Maka sedar atau tidak, kita telah menjadi objek “kempen pilihanraya demokrasi” yang sangat efektif.
Setelah melewati momentum ini, saya ingin menunjukkan betapa sistem demokrasi itu tidak ada islamnya sama sekali. Pertentangan antara demokrasi dengan sistem islam secara filosofis telah kita debatkan setiap hari. Intinya, saya tetap yakin bahwa demokrasi itu sistem kufur, sebab sistem ini telah menjadikan rakyat sebagai satu-satunya pihak yang kehendaknya wajib dipatuhi oleh negara. Sedangkan dalam islam, yang wajib dipatuhi hanyalah syara’. Ini saja sudah cukup untuk mengatakan bahwa demokrasi itu bathil, bahkan, super bathil.
Sekarang kita bincang dalam wilayah praktis. Dalam demokrasi, pemimpin negara wanita itu mungkin. Kenapa mungkin? Karena kehendak yang wajib ditaati oleh negara adalah kehendak rakyat. Jika rakyat menghendaki Semah menjadi presiden, maka jadilah dia presiden, tidak ada lagi yang perlu dipertikaikan, sebab kedaulatan ditangan rakyat. Ertinya, kemungkinan adanya ketua negara wanita itu memang ditetapkan oleh falsafah demokrasi itu sendiri dan kemudian diturunkan sampai level undang-undang. Jadi, masalahnya masuk sampai penetapan undang-undang.
Sementara dalam pandangan islam, ketua negara wanita itu tidak dibenarkan. Hal itu ditetapkan oleh hukum syara’. Al Bukhariy rahimahullaah meriwayatkan sabda Nabi Shollallaahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Abu Bakrah radliyallahu ‘anhu “lay-yufliha qowmun walaw amrahum imra’atan”. Keharaman mengangkat ketua negara wanita ini bukan hukum syara’ yang jatuh kepada individu, tapi ini adalah hukum syara’ yang harus dijalankan oleh negara. Ertinya, aturan islam menetapkan bahwa Negara Islam tidak boleh mengangkat seorang wanita menjadi ketua negara. Maka, Negara Islam diharamkan membuat undang-undang yang membuka adanya peluang tersebut.
Disinilah kita melihat ketidak-harmonian antara islam dengan demokrasi. Dalam pandangan demokrasi, undang-undang tidak boleh diskriminatif, maka undang-undang yang melarang wanita untuk mencalonkan diri sebagai kepala negara adalah undang-undang yang bathil. Sebaliknya, menurut islam, malah undang-undang yang mengabaikan syariat adalah undang-undang yang bathil. Maka aturan yang membolehkan wanita untuk diangkat sebagai ketua negara adalah aturan yang tidak benar. Ketidak-harmonian itu bertumpu pada perbezaan falsafah negaranya, yakni, negara demokrasi itu tunduk kepada rakyat, sedangkan negara islam itu tunduk kepada syara’.
Dengan tanpa meninggalkan sikap hormat, di sini kita tidak boleh mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Syaikh Qordhawi, bahwa demokrasi itu tidak bertentangan dengan islam, karena demokrasi dalam islam adalah demokrasi yang dijalankan oleh orang-orang islam yang taat kepada agamanya sehingga kehendak rakyat itu tidak mungkin menyimpang dari syariah yang mereka imani. Pernyataan itu tidak benar. Sebab, jika demikian, kita juga boleh mengatakan bahawa pemerintahan autokrasi -yang menjadikan raja berkuasa secara total itu- juga tidak bertentangan dengan islam. Alasannya sama seperti ungkapan Qordhawi dalam membela demokrasi, yakni: jika sistem autokrasi itu dipegang oleh orang yang sholeh, maka sistem itu tidak mungkin menyimpang dari syariat islam.
Tidak sesuai dikatakan demikian, kerana kita berbicara tentang “ketentuan dalam islam mengenai siapa yang kehendaknya harus ditaati oleh pemerintah/negara?”. Maka masalahnya adalah tentang bentuk sistem negara yang benar. Bagaimana pun keadaannya, pemerintahan yang hanya mahu tunduk kepada rakyat adalah pemerintahan yang tidak benar menurut islam. Demikian juga dengan pemerintahan yang menjadikan raja berkuasa secara total. Keduanya memiliki kesalahan filosofis yang sama, yakni tidak menjadikan syara’ sebagai satu-satunya pemegang kedaulatan dalam merumuskan hukum dan aturan. Allaahumma arinal baathila baathila war-zuqnajtinaabahu!

Keharaman Dalam Menerapkan Sistem Demokrasi Bukan Masalah Ijtihadiy
Banyak kaum muslim yang beranggapan bahwa sikap umat islam terhadap sistem demokrasi adalah perkara ijtihadiy. Dari anggapan ini, mereka tidak membenarkan orang yang tegas, “memaksakan” pemahamannya kepada seluruh umat islam bahwa demokrasi adalah sistem kufur yang haram untuk diterapkan. Maka melalui tulisan ini, kami ingin menunjukkan bahwa keharaman penerapan sistem demokrasi adalah perkara yang qoth’i, bukan perkara ijtihadiy. Akan kami tunjukkan bahwa sistem demokrasi itu telah mendapat tanggapan dari nash-nash qoth’i yang telah turun pada masa kenabian. Pembahasan di dalam tulisan ini telah kami atur sedemikian rupa agar pembaca boleh memahami alur fikiran kami dalam menarik kesimpulan. Maka dari itu, kami tidak menghendaki tanggapan yang muncul tanpa mengindahkan uraian yang telah kami susun. Wallaahul Musta’aan

Hukum Islam: Ada Yang Qoth’i dan Yang Dzanni
Di dalam islam ada perkara yang tergolong qoth’i (absolute) dan ada pula perkara yang tergolong dzanni (spekulatif). Perkara qoth’i adalah perkara yang ditetapkan oleh dalil-dalil qoth’i, baik dalam aspek keabsahan sumbernya mahupun dalam aspek kekuatan penunjukkannya. Di dalam perkara-perkara yang qoth’i ini umat islam secara automatik memiliki kesefahaman. Kesefahaman tersebut terwujud karena dalil-dalil yang membangun perkara-perkara qoth’i itu secara keilmuan memang tidak boleh ditolak oleh umat islam mana pun, baik dari aspek keabsahan sumbernya mahupun dari aspek pemahaman yang ditarik dari sumber tersebut. Siapa saja yang menolak perkara yang qoth’i maka ia digolongkan sebagai orang kafir, meski hanya menolak satu perkara saja. Misalnya, bahwa “Muhammad shollallaahu ‘alaihi wa sallam adalah utusan Allah yang terakhir” itu termasuk perkara yang qoth’i, siapa saja yang secara sedar dan konsisten menolak pernyataan tersebut maka dia kafir. Di sinilah wilayah hitam dan putih itu dipisahkan. Pilihannya adalah haq atau bathil, islam atau kafir, idea yang islami atau idea yang kufur.
Sedangkan perkara yang dzanni adalah perkara-perkara yang tidak ditetapkan dengan dalil-dalil qoth’i -baik dilihat dari aspek keabsahan sumbernya dan/atau dari aspek pemahaman yang boleh ditarik dari sumber tersebut. Dalam masalah keabsahan sumber, diperlukan kepakaran khusus untuk meneliti keabsahan suatu hadits. Dalam hal ini, mungkin para pakar boleh berbeza pendapat, sehingga tidak aneh jika terjadi perdebatan. Begitu pula, seandainya mereka bersepakat atas absahnya suatu hadits, belum tentu mereka sepakat terhadap pemahaman yang boleh diambil dari hadits tersebut. Dan masih banyak lagi faktor keilmuan lain yang dapat menyebabkan terjadinya perbezaan pendapat dalam perkara yang dzanni ini, baik menyangkut faktor metod maupun non-metod. Maka dari itu, dalam wilayah yang dzanni ini, di samping harus memiliki sikap yang jujur dan “ilmiah”, umat islam juga harus saling menghargai, sebab walau bagaimana pun, semua pihak telah mengerahkan segenap memampuannya untuk menemukan pendapat yang menurutnya paling benar (showab). Inilah wilayah “abu-abu” dalam islam, dan itu terbatas pada perkara cabang, ertinya, perbezaan itu tidak menyentuh aspek asas dalam islam.
Pengertian Ijtihad
Yang disebut dengan ijtihad dalam disiplin ilmu ushul adalah proses yang dilakukan oleh seseorang -dengan kelayakan tertentu- dimana dia mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk memahami dalil-dalil syara’ dalam rangka menggali dan menghasilkan hukum amali yang bersifat dzanni. Jadi hasil dari proses ijtihad adalah hukum amali yang bersifat dzanni. Yang demikian itu karena area ijtihad terbatas pada dalil-dalil syara’ yang bersifat dzanni. Sebab, tidak ada ijtihad dalam perkara qoth’i.
Dari definisi ijtihad di atas, dapat disimpulkan bahawa sebuah aktiviti itu tidak boleh dianggap sebagai ijtihad jika tidak memiliki tiga karakter berikut:
1. Adanya proses pengerahan segenap kemampuan untuk menggali hukum. Dengan ini berarti juga disyaratkan adanya kemampuan untuk melakukan ijtihad itu sendiri. Sebab, seseorang tidak mungkin boleh mengerahkan kemampuan untuk berijtihad jika dia tidak memiliki kelayakan&kemampuan dalam berijtihad. Secara garis besar, seseorang akan boleh melakukan ijtihad jika dia menguasai kaidah-kaidah yang diperlukan dalam memahami ungkapan-ungkapan berbahasa Arab dan ilmu-ilmu syara’. Dengan kata lain, disyaratkan mengetahui ilmu bahasa dan ilmu tentang dalil. Jika seseorang telah mengerahkan segala kemampuannya yang berkaitan dengan ilmu-ilmu bahasa dan syara’ dalam melakukan penggalian hukum, maka dia dianggap telah berijtihad. Tapi, jika usaha yang dia lakukan dalam mengambil kesimpulan hukum itu belum maksima, maka dia tidak dianggap telah berijtihad. Misalnya jika dalam benaknya masih ada dalil-dalil yang secara dzahir terlihat bertentangan, tapi pertentangan itu tidak diselesaikan dan justru terus menarik hukum dengan sebagian dalil saja, maka dia tidak dianggap telah berijtihad.
2. Bahawa pengerahan kemampuan itu didedikasikan untuk menghasilkan hukum syara’. Maka dari itu, jika seseorang memahami dalil-dalil syara’ hanya sekedar untuk penelitian, bukan dalam rangka menghasilkan hukum untuk mewujudkan ketaatan kepada Allah, maka dia tidak dianggap telah berijtihad.
3. Bahawa kajiannya haruslah bertumpu pada dalil-dalil syara’, atau minimal syubhatud dalil. Atas dasar itu, pengerahan kemampuan untuk menghasilkan hukum yang tidak bersumber dari dalil syara’ tidak disebut ijtihad. Maka pemikiran yang semata-mata bersandar pada akal atau falsafah asing tidak boleh dianggap sebagai hasil ijtihad. Sedang yang disebut dalil syara’ itu adalah Al Qur’an dan As Sunnah, serta yang disahkan oleh keduanya, yakni ijma’ sahabat dan qiyas yang didasarkan pada illat syar’i.

Menghukumi Sebuah Fakta: Pemahaman Terhadap Nash dan Penelaahan Terhadap Fakta
Apabila suatu hukum telah ditetapkan, baik ditemukan sebagai hukum yang qoth’i mahupun melalui proses ijtihad, maka masalah berikutnya adalah bagaimana menerapkan hukum syara’ tersebut kepada fakta yang tepat. Proses identifikasi fakta ini dinamakan tahqiqul manath (penelaahan terhadap fakta / mengkaji realiti).
Proses tahqiqul manath bukan merupakan ijtihad, sebab yang disebut ijtihad adalah kajian terhadap dalil, yakni menangkap hukum yang ditunjukkan oleh cakupan dalil, baik yang terkandung dalam manthuq (hal yang tersurat), mafhum (hal yang tersirat), mahupun ma’qulnya (berupa illah), juga usaha dalam membina kesimpulan yang boleh mengintegrasikan semua dalil yang terkait dalam satu tema. Untuk itu diperlukn ilmu bahasa arab dan ilmu-ilmu syar’i. Ini berbeza dengan tahqiqul manath, sebab tahqiqul manath hanyalah penelitian terhadap fakta. Di sini tidak diperlukan ilmu bahasa arab dan kaidah-kaidah syara’, yang diperlukan hanyalah kemampuan untuk mengidentifikasi fakta pada realiti keadaan secara tepat, kemudian fakta itu dibandingkan dengan fakta yang ditunjuk oleh dalil. Jika terbukti bahwa fakta yang ditemukan pada realiti keadaan itu memang sama dengan fakta yang ditunjuk oleh dalil atau tercakup dalam keumumannya, maka hukum yang telah dipahami dari dalil itu tinggal diterapkan pada fakta yang ditemukan direaliti keadaan.
Contoh proses tahqiqul manath: kita tidak perlu berijtihad untuk menyimpulkan bahwa bunga bank itu haram. Keismpulan itu didapat setelah kita tahu bahwa bunga bank itu adalah riba. Untuk mampu memastikan bahwa “bunga bank itu adalah riba” seseorang tidak harus menguasai ilmu bahasa Arab dan kaidah-kaidah syara’. Cukuplah ia untuk tahu “fakta riba itu seperti apa?” dan “fakta bunga bank itu bagaimana?”, kemudian dibandingkan. Siapa saja yang masih punya akal pasti akan memahami bahwa bunga bank itu sama dengan riba, atau lebih tepatnya, bunga bank itu hakikatnya adalah riba. Padahal hukum riba itu telah jelas diketahui (haram) tanpa harus berijtihad. Ini contoh kasus hukum yang qoth’i (riba). Contoh untuk kasus hukum dzanni misalnya dalam masalah istihadhah. Imam Abu Hanifah, Malik, dan Asy-Syafi’i -rahimahumullah- sepakat bahwa istihadhah itu tidak menghalangi aktiviti -maaf- jima’, berbeda dengan imam Ahmad rahimahullah, beliau mengharamkan jima’ pada farj wanita mustahadhoh. Kesimpulan hukum dzanni itu didapat dari proses ijtihad yang dilakukan oleh para ulama melalui penelaahan terhadap dalil-dalil syara’. Sedangkan proses identifikasi yang dilakukan oleh seorang wanita mengenai apa yang terjadi pada dirinya, apakah ia sedang mengalami haidl atau istihadhah, itu bukan proses ijtihad, melainkan tahqiqul-manath.
Menentukan Status Demokrasi Tidak Perlu Ijtihad
Sampailah kita pada masalah demokrasi, apakah ini perkara ijtihadiy atau bukan. Kami berpendapat bahawa fakta demokrasi itu telah diperjelas oleh nash-nash yang qoth’i. Kesimpulannya, demokrasi itu sistem kufur dan haram menerapkannya. Kesimpulan kami ini bertumpu kepada tiga perkara:
1. Penelaahan terhadap nash-nash syara’ memastikan bahwa hukum itu wajib datang dari syara’ semata. Ertinya, ada dalil-dalil qoth’i yang mewajibkan umat islam untuk hanya bertahkim kepada Allah. Dengan ini kami mengatakan bahwa tidak ada tempat untuk berijtihad di dalam masalah menyerahkan urusan hukum kepada selain Allah karena hal itu telah diharam secara qoth’i. Keabsahan dan penunjukkan nash-nash yang mengarah kepada keharaman tersebut telah disepakati oleh umat islam, dan siapa saja yang mengingkari apa yang ditunjuk oleh nash-nash tersebut maka dia kafir. Ertinya, siapa saja yang tidak mahu berhukum kepada hukum Allah dengan alasan bahwa hukum Allah itu tidak layak bagi manusia, dan ada sumber hukum lain yang lebih baik dari hukum Allah, maka dia kafir. Masalah ini sangat dikenal (ma’lumun min ad diin bidhdhorurah), sehingga saya tidak perlu lagi menampilkan dalil-dalilnya.
2. Kewajipan tunduk kepada hukum syara’ ini tidak hanya jatuh kepada individu, tapi juga jatuh kepada institusi negara. Negara dalam islam dianggap seperti “seseorang” yang memiliki kewajiban untuk terikat kepada hukum Allah. Negara tidak dibenarkan melepaskan diri dari hukum Allah, apa pun alasannya. Maka dari itu umat islam tidak hanya wajib menanamkan aqidah islam dalam dirinya, tapi mereka juga wajib menjadikan islam sebagai aqidah bagi negaranya. Mereka tidak hanya dituntut untuk menegakkan kedaulatan syara’ di dalam dadanya masing-masing, tapi mereka juga wajib menegakkan kedaulatan syara’ di dalam negara yang meraka diami. Dengan demikian, negara akan berfungsi sebagai penegak syariat. Hal-hal yang absolute di dalam islam akan diperlakukan sebagai hukum yang absolute, tidak boleh diganggu gugat. Maka penzina wajib disebat, pencuri wajib dipotong tangannya, orang murtad wajib dibunuh, zakat wajib dipungut dari warga yang muslim, jizyah wajib diambil dari warga yang kafir yang mampu(dzimmi), jihad ofensif wajib dilakukan, dsb. Hukum-hukum itu wajib diperlakukan tanpa meminta persetujuan rakyat, sebab negara dan rakyat sama-sama wajib tunduk kepada hukum islam. Inilah yang dicontohkan oleh rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam menjalankan Negara Islam yang pertama. Adapun dalam hal-hal dzanni, maka keputusannya didasarkan pada ijtihad, bukan suara majoriti. Negara wajib mengambil satu ijtihad yang menurutnya memiliki dalil yang paling kuat, sebab, hukum syara’ yang dzanni itu memang muncul dari ijtihad, bukan kehendak orang ramai (undian). Adapun masalah di luar penentuan hukum, maka boleh diputuskan dengan suara terbanyak (seperti penentuan teknikal dan administrasi), kecuali menyangkut perbahasan bidang kepakaran tertentu.
3. Demokrasi pada faktanya tidak sesuai dengan dua point di atas. Secara formal, negara demokrasi tidak tunduk kepada hukum Allah, tapi ia tunduk kepada kehendak rakyatnya. Negara demokrasi hamba kepada rakyatnya, bukan hamba kepada Allah. Ini adalah fakta tentang demokrasi yang tidak diingkari oleh manusia mana pun. Secara teori, negara demokrasi harus meluluskan kehendak rakyatnya tanpa memandang masalah lain (seperti apakah kehendak itu sejalan dengan hukum Allah atau tidak). Maka dari itu, demokrasi tidak peduli dengan masalah kewajiban untuk tunduk kepada hukum Allah. Ini tentu saja bertentangan dengan konsep negara dalam islam, dimana dalam islam, negara itu wajib untuk menegakkan hukum syara’ dan menyebarkanluaskan dakwah.
Atas dasar itu, tanpa harus memiliki kemampuan untuk berijtihad, siapa saja mampu melihat bahawa sistem demokrasi itu memang tidak menjadikan syara’ sebagai tempat kembali dalam menentukan hukum, aturan, dan keputusan yang diperlalukan oleh negara. Yang diperlukan di sini hanyalah proses penelaahan terhadap fakta demokrasi (tahqiqul manath), yang mana, fakta itu telah dijawab secara qothi oleh syara' sejak dulu. Faktanya adalah bahwa negara demokrasi itu merupakan institusi yang berhukum kepada rakyatnya, bukan kepada Allah. Allah tidak “diberi” kedudukan formal apa pun dalam sistem demokrasi, oleh itu rakyatlah yang memiliki kedudukan tertinggi. Fakta ini telah dibathilkan secara pasti (qoth’i) oleh nash-nash islam. Maka tidak dibenarkan adanya ijtihad dalam menentukan sikap terhadap demokrasi.
Ada pun perkataan sebagian orang bahawa demokrasi adalah hukum masyawarah, itu tidak benar. Kerana fakta demokrasi berzeda dengan musyawarah. Rasulullah shollallahu ‘alihi wa sallam sering bermusyawarah dan mengambil pendapat, tapi pengambilan pendapat yang beliau laksanakan  itu bukan dalam rangka menentukan hukum. Sebab, dalam masalah hukum, rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam hanya akan memutuskan dengan wahyu saja, tidak dengan pengambilan pendapat. Masalah ini sangat difahami oleh para sahabat, sehingga mereka tahu dalam hal seperti apa mereka boleh memberi pendaopat kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya menjelang perang Uhud diadakan musyawarah dan pungutan suara terkait dengan masalah apakah kaum muslimin akan menghadapi Quraisy di dalam kota Madinah atau di luar kota Madinah. Musyawarah dan pungutan suara ini bukan dilakukan dalam rangka menentukan hukum perang, sebab hukum perang telah ditetapkan oleh nash. Pungutan suara juga tidak dilakukan dalam menentukan hukum berperang di dalam kota dan di luar kota, sebab kedua pilihan itu hukumnya sudah tidak diperselisihkan lagi, yaitu mubah. Syara’ membolehkan mereka untuk memilih salah satu di antara dua pilihan tersebut. Ertinya, pungutan suara tersebut dilakukan untuk memilih salah satu diantara dua pilihan aktiviti yang sama-sama mubah, bukan dalam rangka menentukan hukumnya. Kesimpulannya, pungutan suara boleh dilakukan dalam rangka meletakkan pilihan terhadap salah satu hal di antara hal-hal yang boleh dilakukan, bukan dalam menentukan hukumnya, sebab hukum Allah (penentuan halal-haram) tidak boleh ditetapkan dengan kutipan suara.
Sedangkan orang yang mengatakan bahAwa menjalankan demokrasi adalah tindakan yang diambil dalam keadaan darurat, maka itu tidak benar. Bagaimana apapun keadaanya, menjalankan demokrasi itu bukan satu-satunya pilihan. Sebab darurat secara syar’i adalah sesuatu yang memberikan desakkan yang bersifat mematikan sehingga mahu/tidak-mahu desakan itu harus dihindari. Misalnya, seseorang yang dipaksa menjalankan demokrasi karena adanya ancaman pembunuhan keluarga, maka langkah darurat diambil sepanjang ancaman itu masih wujud. Jika ancamannya hilang, maka kembali kepada keadaan normal. Namun patut dicatat bahawa desakan seperti itu hanya dialami oleh individu tertentu, dan tidak dialami oleh semua orang, sehingga hukum darurat tidak sepatutnya diperlakukan kepada seluruh umat islam -hanya kerana desakan mematikan yang menimpa segelintir orang. Maka dari itu, langkah darurat untuk mengakui demokrasi tidak boleh diambil oleh sebuah parti atau jama’ah islam hanya kerana serangan mematikan yang dialami oleh anggota-anggotanya. Namun demikian, anggotanya secara personal boleh mengambil langkah darurat, meski pun dalam hal yang mengancam keselamatan diri, mengambil langkah sabar lebih utama.
Ini dari satu sisi, dari sisi lain, bagaimana pun keadaannya, kita tetap tidak boleh mengeluarkan seruan umum kepada umat bahwa demokrasi itu benar. Sebab, para ulama tidak pernah menghalalkan yang haram dalam keadaan darurat, namun mereka selalu menjelaskan bahwa kebolehan mengambil sesuatu yang haram dalam kondisi darurat itu hanyalah rukhshoh. Penjelasan itu dilakukan dengan tidak menutup-nutupi hukum azimah-nya (aslinya) yang haram. Di saat makan babi dibolehkan karena tidak ada pilihan lain, maka para ulama tidak menipu umat dengan mengatakan bahwa babi itu halal. Mereka tetap menjelaskan hukum azimahnya bahwa babi itu haram. Atas dasar itu, jika umat islam yang mengambil demokrasi itu memang menganggap bahwa ikut menjalankan sistem demokrasi adalah langkah darurat, maka mereka tetap wajib menjelaskan kepada ummat bahwa azimahnya adalah haram, tidak boleh taqiyah, tidak menipu umat, dan tidak boleh menyembunyikan kebathilan demokrasi dari mata umat.
Bagaimana Dengan Umat Islam Yang Pro-Demokrasi?
Mengingkari kewajiban berhukum dengan hukum Allah itu jelas kafir, tidak ada perdebatan lagi. Namun, kita tidak boleh secara umum mengkafirkan orang islam pro-demokrasi. Memang, kami katakan sistem demokrasi sendiri sistem kufur, ertinya, ia merupakan sistem yang tidak islami. Tapi orang yang membelanya belum tentu kufur. Hal itu kerana diantara mereka ada yang salah dalam memahami fakta demokrasi. Mereka tidak bermaksud mengingkari nash-nash qoth’i tentang kewajiban berhukum kepada hukum Allah. Namun, mereka telah enghayalkan konsep demokrasi dengan cara mereka sendiri sehingga seolah-olah ia tidak bertentangan dengan nash. Misalnya, mereka mengatakan, demokrasi itu adalah sistem yang tidak akan menggoyang hal-hal yang telah tetap dalam islam, atau perkataan mereka, demokrasi bagi umat islam tidak akan membahayakan syariat kerana kehendak rakyat islam tidak mungkin akan menyalahi syariah yang mereka imani. Itulah diantara perkataan mereka. Konsep demokrasi khayali itu sebenarnya hanya ada dalam kepala. Ia berbeza dengan realiti demokrasi yang ada di dunia nyata. Ia juga berbeza dengan demokrasi yang difahami oleh penduduk dunia. Dan pada faktanya, demokrasi di negeri-negeri islam tetap menggugat hal-hal yang bersifat syar’i. Dan pada faktanya, tidak akan ada negara demokrasi yang menjadikan syara’ sebagai pemegang kedaulatan mutlak. Bahkan, bukan demokrasi namanya kalau masih ada hal yang dianggap berdaulat secara absolute selain rakyat. Setiap suara yang terlibat dalam demokrasi itu secara formal wajib didengar, padahal, rakyat itu tidak mungkin 100% setuju dengan islam.
Lantas bagaimana dengan status orang yang menjalankan sistem demokrasi? Jika ia yakin bahwa kehendak rakyat itu mutlak lebih baik dan lebih harus ditaati dari pada nash-nash syara’, maka dia kafir secara pasti. Sebab dia menganggap bahwa rakyat lebih baik keputusannya dari pada Allah. Namun, jika dia mentaati kehendak rakyat kerana merasa tidak mampu melawan, atau karena takut kehilangan jawatan, tanpa mengingkari wajibnya berhukum dengan hukum Allah, maka dia telah bermaksiat dengan kemaksiatan yang besar, meski dia tidak kafir, tapi dia harus bertaubat.
Kesimpulan
Proses tahqiqul manath telah memastikan bahwa sistem demokrasi itu menempatkan rakyat sebagai sumber kedaulatan, ertinya, rakyat adalah tuan yang mutlak harus ditaati. Padahal, nash-nash syara’ telah memberi ketentuan yang tegas/qoth’i, bahwa berhukum kepada selain Allah adalah bathil. Maka dari itu, tidak ada ijtihad dalam menentukan status sistem demokrasi. Sebab, tidak ada ijtihad jika telah ada nash yang qoth’i.


 wallahua'lam

artikel asal dialih bahasa ke bahasa melayu tanpa menghilangkan maksud sebenarnya 

0 comments: