BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Monday, July 15, 2013

SIRAH NABI SAW SEBAGAI SUMBER HUKUM

Oleh: Muhammad Lazuardi al-Jawi

Sebagian dari kita sering menyamakan sirah (baca: Sirah Nabi Saw) dengan tarikh (sejarah) biasa. Padahal, dari sisi sumber dan metode penuturan (transmisi), ada perbedaan mendasar antara sirah dan tarikh. Misalnya, sirah biasanya didasarkan pada periwayatan sebagaimana halnya Hadis Nabi Saw. Bahkan, banyak kitab-kitab hadis yang di dalamnya justru memuat sirah. Karena itu, sirah sesungguhnya harus disejajarkan dengan as-Sunnah sehingga layak dijadikan sebagai salah satu sumber hukum Islam. Sebaliknya, tarikh tidak seperti itu. Tarikh bahkan sering tidak didasarkan pada penelitian atas informasi secara tepat, di samping sering mengalami percanggahan. Untuk mendalami sejauh mana perbedaan keduanya, tulisan berikut akan menelaah kitab Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, jilid I, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam bab, “Sîrah wa at-Târîkh”, yang didukung dengan penelaahan atas sejumlah kitab yang lain.

Pengertian Sirah

Sirah (sîrah) secara bahasa berarti jalan (ath-tharîq).*1) Kata sirah biasanya digunakan untuk menyebut Sirah Nabi Saw (As-Sîrah an-Nabawiyyah), yaitu kisah hidup Nabi Saw; seperti kitab Sirah Nabi Saw yang dikarang oleh Ibn Ishaq (w. 153 H), al-Waqidi (w. 209 H), Ibn Hisyam (w. 218 H), Ibn Saad (w. 230 H), dan lain-lain.*2)

Keinginan untuk menulis Sirah Nabi Saw sudah muncul dan dilakukan oleh sejumlah sahabat seperti Urwah Ibn Zubair (w. 92 H), Wahab Ibn Munabbih (w. 105 H), Syurhabil Ibn Saad (w. 123 H), dan Syihab az-Zuhri (w. 124 H). Sebagian besar tulisan mereka tidak sampai kepada kita, kecuali yang sebagian yang diriwayatkan oleh Imam ath-Thabari dan sebagian bab yang ditulis oleh Wahab Ibn Munabbih yang tersimpan di kota Haidelberg, Jerman.

Para peneliti sepakat, bahwa karangan Ibn Ishaq tentang Sirah Nabi Saw adalah yang paling terpercaya pada masanya, walaupun kitab Maghâzi-nya tidak sampai kepada kita. Setelah itu pada periode selanjutnya muncul Abu Muhammad Abdul Malik yang dikenal sebagai Ibn Hisyam, setelah lebih dari 50 tahun Ibn Ishaq menulis kitab sirahnya.*3) Tentang hal ini, Ibn Khalkan berkata, “Ibn Hisyam adalah orang yang mengumpulkan (materi) Sirah Nabi Saw dari kitab Maghâzi dan sirah karya Ibn Ishaq. Kemudian ia meringkas dan merangkumnya. Inilah kitab (sirah) yang berada di tangan masyarakat dan dikenal dengan Sirah Ibn Hisyam.” *4)

Sirah Nabi Saw biasanya disandarkan pada berbagai hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat, tabiin, dan generasi sesudah mereka tentang kehidupan Nabi Saw sejak kelahirannya, pertumbuhannya, dakwahnya pada Islam, jihadnya atas kaum musyrik dan peperangannya. Secara umum Sirah Nabi Saw mencakup seluruh kabar tentang Nabi saw. dari sejak kelahirannya sampai wafatnya.*5)

Selain dalam kitab-kitab sirah, riwayat yang menceritakan kehidupan Rasul saw. juga terdapat dalam kitab-kitab hadis. Misalnya, dalam Shahîh al-Bukhari terdapat kitab Al-Maghâzi (kitab yang berisi cerita perang pada masa Rasul Saw); dalam Shahîh Muslim terdapat kitab Al-Jihâd dan kitab As-Siar (Sirah); serta dalam kitab-kitab hadis yang lainnya yang berisi hadis sahih, hasan, dan juga dhaif —seperti kitab Ashâb as-Sunnan (kitab sunan Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Ibn Majah, dan lain-lain).*6) Bahkan Imam at-Tirmidzi menulis sebuah kitab yang ia beri judul Asy-Syamâ’il al-Muhammadiyyah, yang berisi hadis-hadis yang menjelaskan sifat, ciri-ciri fisik, perilaku, peribadatan, dan hal lain yang berhubungan dengan diri Rasul Saw.*7)

Dengan kitab Sirah Nabi Saw dapat diketahui risalah yang dibawa oleh beliau kepada manusia untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju cahaya, dari penyembahan terhadap hamba ke penyembahan kepada Allah SWT.*8) Dengan Sirah Nabi Saw pula, kita dapat mengetahui kehidupan beliau sejak beliau dilahirkan, pertumbuhannya, hingga beliau dewasa; saat-saat menerima wahyu dan dakwahnya kepada manusia dan ajakannya pada agama yang lurus (Islam); termasuk konsekuensi yang beliau hadapi dalam menyebarkannya berupa penentangan, apa yang terjadi antara dirinya dan mereka yang menentangnya (orang-orang musyrik) berupa ‘pertarungan’ argumentasi, dan mereka yang mencintainya hingga berkibar bendera kebenaran dan bersinarnya cahaya iman.*9)

Perbedaaan Tarikh Dan Sirah Tarikh (târîkh) secara bahasa adalah sejarah masa lalu. Adapun secara istilah —diambil dari penjelasan Imam as-Sakhawi— tarikh digunakan untuk membatasi peristiwa-peristiwa pada suatu masa dari aspek penentuan dan waktu terjadinya.*10)Kata tarikh lebih umum penggunaannya dibandingkan dengan kata sirah; kata sirah lebih sering digunakan untuk menjelaskan kehidupan Rasul Saw mulai dari kelahirannya sampai beliau wafat. Adapun kata tarikh, cakupan kajiannya lebih luas; adakalanya ia digunakan untuk membahas tarikh tasyrî’ Islam (sejarah kodifikasi hukum Islam), tarikh fikih Islam (sejarah fikih Islam), atau tarikh Madzâhib Islâmiyyah (Sejarah Mazhab-mazhab dalam Islam), tarikh Khulafâ’ (Sejarah Para Khalifah), tarikh falsafi Islam (Sejarah Filsafat Islam), dan lain-lain.

Perbedaan lainnya, hampir seluruh sirah ditulis dengan mencantumkan sanad-nya (yaitu matarantai perawi hingga ke matan-nya). Hal ini bermula ketika pada Abad Kedua Hijrah sejumlah ulama mengumpulkan khabar tentang sirah Rasul Saw, sebagian digabungkan dengan sebagian yang lain. Pembukuan dilakukan dengan metode periwayatan, dengan menyebut nama perawi dan orang yang meriwayatkan, persis sebagaimana periwayatan yang dilakukan dalam hadis. Oleh karena itu, para ulama hadis dan para penelitinya dapat mengetahui berita sirah yang sahih, yang dhaif, atau yang mardûd (tertolak), melalui penelitian mereka atas para perawi dan sanadnya.*11,12)

Walhasil, riwayat tentang kehidupan dan diri Nabi saw.yang terbukti sahihlah yang dapat dijadikan sebagai rujukan. Sebab, sirah adalah bagian dari as-Sunnah, yang tidak boleh diambil kecuali jika ia terbukti merupakan riwayat yang sahih.*13) Oleh karena itu, sirah lebih otentik dari pada tarikh, karena adanya sanad. Dengan dicantumkannya sanad, maka dapat diteliti sejauh mana kebenaran informasi yang terkandung dalam kabar atau riwayat tersebut; yakni dengan cara meneliti kesinambungan sanad,*14) keadilan para perawi,*15) serta ada-tidaknya syadz*16) dan ‘illat*17) dalam khabar tersebut.*18)

Adapun tarikh, sebagian ada yang ditulis dengan mencantumkan sanadnya seperti Târîkh al-Khulafâ’ yang dikarang oleh Imam as-Suyuti*19) atau Târîkh Tasyrî’ Islâm (sejarah kodifikasi hukum dalam Islam).*20) Pengarang kitab-kitab ini menyebutkan nama perawinya sehingga dimungkinkan diteliti otentitas berita yang diriwayatkannya, sebagaimana dilakukan dalam kitab hadis dan kitab sirah. Ada pula kitab tarikh yang tidak mencantumkan sanadnya seperti Târîkh Umam wa al-Mulk (Sejarah Bangsa-bangsa dan Para Raja), Târîkh Fiqh al-Islâm (Sejarah Fikh Islam),*21) atau Târîkh Falsafi Islâm (Sejarah Filsafat Islam),*22) dan lain-lain. Pada umumnya, mereka hanya menyebut peristiwa dan kejadian tanpa menyebut sanad dan perawinya sehingga kitab-kitab mereka tidak dapat dijadikan sebagai sandaran sirah, kecuali jika seorang pengarang melakukan tahqîq (penelitian) ketika menulis berita sirah dan ia termasuk perawi yang terpercaya. Jika tidak demikian, perkataannya atau apa yang ia informasikan tidak dapat dijadikan sebagai bukti.*23)



Sirah Nabi Bukan Sejarah Tanpa Makna

Musuh-musuh Islam memang tidak menghendaki kaum Muslim berpegang teguh dengan syariat Islam secara utuh. Mereka berusaha keras untuk memisahkan kaum Muslim dari syariat Islam. Di antaranya adalah dengan memberikan gambaran yang kabur, bahkan miring, terutama terhadap sejarah Islam. Misalnya, dengan mengatakan bahwa Sirah Nabi saw. hanyalah kumpulan peristiwa sejarah yang tidak bermakna. Untuk membantahnya, kita harus memahami bahwa secara umum tarikh atau sejarah ditulis dengan menggunakan 3 (tiga) sumber, yaitu:

1. Catatan sejarah.Catatan sejarah tidak boleh dijadikan sebagai sebagai sumber sejarah secara mutlak. Alasannya, catatan-catatan sejarah ini sering dipengaruhi oleh situasi politik pada suatu masa dan tidak jarang bercampur dengan kepalsuan akibat sang penulis sejarah cenderung mendukung tokoh tertentu dan menjelekkan tokoh yang lain. Contoh adalah catatan sejarah keluarga Muhammad Ali Pasya (gubenur di Mesir pada masa Daulah Utsmaniah). Sebelum tahun 1952, keluarga ini mempunyai gambaran yang mulia, tetapi setelah tahun 1952, gambaran tentang keluarga ini berubah menjadi kelam, karena terpengaruh kondisi politik saat itu yang ‘anti’ dengan Khilafah, terutama Khilafah Utsmaniyah.

2. Peninggalan sejarah.Berkenaan dengan peninggalam (arkeologi) sejarah, apabila dikaji dengan obyektif, akan menunjukkan sebuah fakta sejarah, walapun belum dapat menunjukkan kepastian dari sebagian peristiwa. Jika kita meneliti peninggalan di negeri kaum Muslim, baik berupa bangunan, peralatan, atau apa saja yang dapat dikategorikan sebagai peninggalan sejarah, akan terbukti bahwa tidak pernah ada dalam Dunia Islam kecuali hanya Islam, peraturan dan hukum Islam semata, bukan yang lain. Keberadaan masjid Aya Sofia, benteng-benteng dan Istana Khalifah di Istambul, Turki, misalnya, merupakan bukti bahwa dulunya ia merupakan pusat dari Daulah Islamiyah yang disegani oleh musuh-musuhnya.

3. Riwayat.Riwayat adalah sumber yang dapat dipercaya dan dapat dijadikan pegangan, tentu jika riwayatnya terbukti sahih; persis dengan cara yang ditempuh dalam periwayatan hadis. Dengan metode inilah seharusnya sejarah umat Islam ditulis, sebagaimana sejarahwan Islam pada masa lalu yang menulis sejarah dengan menggunakan metode periwayatan. Contohnya dapat kita lihat dalam buku tarikh klasik seperti Târîkh ath-Thabari, Sîrah Ibn Hisyâm, dan lain-lain. Atas dasar inilah, kaum Muslim tidak boleh mengajarkan sejarah Islam kepada putra–putrinya dengan menggunakan catatan sejarah yang ditulis ‘hanya’ dengan merujuk pada catatan sejarah yang tidak memiliki sanad; tidak pula diperkenankan untuk mememahami penerapan Islam ‘hanya’ melalui buku atau catatan sejarah tanpa mencantumkam sanadnya. Dari sini, menjadi jelaslah bahwa ‘hanya’ Islam yang diterapkan atas seluruh umat Islam pada setiap masa.*24)

Walhasil, hanya kitab tarikh yang ditulis dengan metode periwayatan sebagaimana metode penulisan kitab sirah dan hadislah yang dapat diterima.

Sesuatu yang terjadi selain zaman para sahabat tidaklah terlalu penting. Sebaliknya, apa yang terjadi pada masa para sahabat adalah penting untuk diketahui, karena Ijma Sahabat adalah salah satu materi tasyrî’ (sumber hukum) setelah al-Qur’an dan as-Sunnah; di samping karena pendapat seorang sahabat adalah pendapat seorang mujtahid, apalagi yang dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin dalam menjalankan roda pemerintahan, administrasi, dan politik. Mereka adalah kaum terbaik yang yang diberi akal oleh Allah untuk memahami hukum syariat dari nash-nashnya. Mereka juga adalah sebaik-baik kaum yang menerapkan hukum Islam dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah terhadap rakyatnya, baik Muslim maupun ahludz dzimmah.
Oleh karena itu, tarikh Daulah Islam pada masa para sahabat harus diketahui. Walaupun demikian, kaum Muslim boleh mengetahui berbagai peristiwa yang terjadi pada masa setelah masa sahabat. Kaum Muslim pun memiliki berbagai sumber yang menceritakan berita para sahabat, selain kitab tarikh, seperti kitab Al-Amwâl karangan Abu Ubaid, Al-Muwatha’ karangan Imam Malik, dan kiatb-kitab hadis yang meriwayatkan hadis sahih dan hadis hasan.*25)

Adapun peristiwa dalam tasyrî’ Islam selain pada masa para sahabat biasanya menjelaskan masalah jihad, muamalah dengan ahludz dzimmah, kharaj, ‘usyur, keamanan, gencatan senjata, hukum tentang ghanîmah (rampasan perang), fa’i, dan gaji tentara. Semua itu dapat memberi gambaran kepada kita tentang fakta dari penerapan syariat Islam oleh Daulah Khilafah Islam dari masa ke masa.*26)

Wajib Mengambil Metode Dakwah Berdasarkan Sirah Nabi Saw

Pasca runtuhnya Daulah Khilafah Islam, negara-negara kafir mendominasi negeri-negeri kaum Muslim. Mereka lalu membaginya menjadi lebih dari 50 negara dan memaksakan pengaruh mereka dalam bidang politik, ekonomi, militer, kebudayaan kepada negara-negara tersebut.

Karena itu, perkara utama yang harus diperhatikan bagi para pengemban dakwah adalah kembali berpegang teguh dengan metode yang pernah ditempuh oleh Rasul Saw dalam mengemban dakwahnya, termasuk marhalah (tahapan) yang beliau jalani hingga dakwahnya berhasil.

Oleh karena itu, mereka harus memahami Sirah Nabi Saw secara tasyrî’i (dalam konteks pengambilan hukum). Dengan kata lain, umat Islam harus melihat Sirah Nabi Saw sebagai kitab dakwah, sebagai manhaj (jalan dakwah) yang ditempuh oleh beliau, dan sekaligus sebagai metode yang tiada bandingannya, yang wajib diikuti dalam upaya mendirikan masyarakat Islam, mewujudkan kekuasaan Islam, dan mengembalikan Islam dalam realitas kehidupan.

Sirah merupakan salah satu materi tasyrî’, karena ia merupakan bagian dari as-Sunnah. As-Sunnah sendiri menurut para ulama ushul adalah semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang berasal dari Nabi Saw (selain al-Qur’an), yang layak dijadikan dalil bagi hukum syariat.*27) Dengan demikian, memperhatikan sirah dan mengikutinya, terutama yang terkait dengan metode dakwah yang beliau lakukan, adalah perkara yang sifatnya wajib.*28)

Catatan Kaki:

1.       Rawas Qal’ah Ji. Mu‘jam Lughah al-Fuqahâ’, hlm. 235.
2.       Taqiyudin an-Nabhani. Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, 1/358-359. Penerbit Dar al-Umah. Cetakan ke–4.
3.       Said Ramadhan al-Buthi. Fiqh as-Sîrah, hlm. 21. Penerbit Dar al-Fikr.
4.       Ibn Sayid an-Nas. ‘Uyûn al-Atsar; Abdus Salam Harun. Tahdzîb Sîrah Ibn Hisyâm, hlm. 8. Penerbit Muasasah ar-Risalah.
5.       An-Nabhani, op.cit., 1/358.
6.       An-Nabhani, ibid.
7.       Asy-Syamâ’il al-Muhammadiyah wa al-Khashâ’is al-Musthafawiyyah. Penerbit Nazar al-Musthafa al-Baz, 1425 H/2004 M. Cetakan ke-2.
8.       Syaikh Syafi ar-Rahman al-Mubarakfuri. Ar-Rahîq al-Makhtûm. Penerbit Darul Salam, Riyadh, 1414 H.
9.       Kitab Ar-Rawdh al-Anf. Penerbit Dar Ma’rifat, 1398 H/1978 M.
10.   Al-Mawsû‘ah al-Fiqhiyyah, jld. 10.
11.   An-Nabhani, op.cit., 360.
12.   Menurut Ibn al-Mulaqqin, ilmu hadis itu mencapai 200 cabang. Lihat: Ali Mustafa Ya’qub. Peran Ilmu Hadis dalam Pembinaan Hukum Islam. Penerbit Pustaka Firdaus, 1999. Cetakan I.
13.   An-Nabhani, op.cit., 1/359.
14.   Maknanya, setiap perawi dalam sanad mengambil hadis atau khabar secara langsung dari perawi di atasnya, mulai dari awal hingga akhir sanad. Lihat: Mahmud Thahhan. Taysîr Musthalah al-Hadîts, 30-31. Penerbit Dar al-Fikr.
15.   Maknanya, setiap perawi dalam sanad adalah Muslim, balig, berakal, tidak fasik, dan tidak melakukan sesuatu yang merusak kehormatan (murû‘ah). Lihat: Mahmud Thahhan, ibid., hlm. 30-31.
16.   Maknanya, hadis tersebut selamat dari syadz. Syadz secara bahasa menyendiri; hadis (baik) sanad atau matannya diriwiyatkan oleh orang yang tsîqah (terpercaya), tetapi menyelisishi hadis yang diriwiyatkan oleh orang lebih tsîqah darinya. (Lihat: Mahmud Thahhan, ibid., hlm. 30-31; M. Anwar, Bc., Ilmu Musthalah Hadis, hlm. 35–37. Penerbit Al-Ikhlas, Surabaya.
17.   Maknanya, hadis itu selamat dari ‘illat yang merusak. ‘Illat yang tersembunyi (bisa terdapat dalam sanad atau matan) seperti sanad yang sepertinya bersambung tetapi ternyata terputus, atau sepertinya tampak sebagai sabda Nabi saw. tetapi sebenarnya ucapan sahabat (Lihat: Mahmud Thahhan, ibid., 30-31. M. Anwar, Bc., ibid., 35-37.
18.   Al-Hafizh Ibn Shalah. ‘Ulûm al-Hadîts.
19.   As-Suyuthi. Târîkh al-Khulafâ’. Penerbit Maktab Nazar Musthafa al-Baz, 1425 H/2004M. Cetakan I.
20.   Syaikh Muhammad al-Hasan al-Hajwi ats-Tsa’labi al-Fasi. Fikr as-Samî‘ fî Târîkh al-Fiqh al-Islâmî. Penerbit Dar Kutub al-Ilmiyiah, Lebanon, 1416 H/1995 M.
21.   Musthafa Said al-Khan. Dirâsah Târîkhiyyah li al-Fiqhi wa Ushûlihi, 1404 H/1984 M; Syaikh Abu Zahrah. Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah fî as-Siyâsiyah wa al-Aqâ‘id wa Târikh al-Madzâhib al-Fiqhiyyah. Penerbit Dar al-Fikr al-’Arabi, 1996.
22.   Abdul Halim Mahmud. At-Tafkîr al-Falsafi fî al-Islâm. Penerbit Dar al-Maarif, t.t. Cetakan ke-2.
23.   An-Nabhani, op. cit., 1/360.
24.   An-Nabhani. Nizhâm al-Islâm, hlm. 55-56. Diterbitkan oleh Hizbut Tahrir, edisi mu‘tamad.
25.   An-Nabhani, op. cit.,1/361-362.
26.   An-Nabhani, op. cit.
27.   Ajaj Al-Khatib. As-Sunnah Qabla Tadwîn, hlm. 18. Penerbit Dar al-Fikr.28. An-Nabhani, op. cit., 1/359.



0 comments: